Tanggung Jawab Notaris Melekatkan Sidik Jari Penghadap dalam Rapat Umum Pemegang Saham Melalui Telekonferensi
Abstract
Hambatan yang nyata dari proses kecanggihan teknologi ini adalah bahwa data yang dihasilkan dari sebuah RUPS dengan menggunakan mekanisme elektronik tentu saja menghasilkan data elektronik pula. Ada pandangan yang berbeda dalam menganalis sebuah dokumen elektronik jika hal itu dikaitkan dengan suatu akta otentik. Ada yang berpendapat bahwa aturan yang terdapat pada Pasal 77 UUPT tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diperbaharui oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa yang dimaksud akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini, sedangkan pengertian akta otentik berdasarkan pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, Pasal 16 Ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya mengatur bahwa Notaris wajib untuk melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang dibahas ada 3 (tiga), yaitu pertama, keabsahan akta relaas RUPS yang dibuat melalui media video konferensi terkait dengan kewajiban notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta?. Kedua, implikasi yuridis terhadap Notaris dan akta RUPS Perseroan Terbatas melalui media elektronik apabila Notaris tidak memenuhi kewajiban untuk melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta?. Ketiga, pengaturan kedepan mengenai pembuatan Akta Relaas RUPS yang dilakukan Melalui Media Video Telekonferensi?
Tipe penulisan yang akan digunakan dalam penelitain adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Peundang-Undangan, pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dan pendekatan Historis (Historical Approach). Bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa : pertama, keabsahan akta relaas RUPS yang dibuat melalui media video konferensi terkait dengan kewajiban notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta adalah tetap sah karena telah diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada notaris untuk melakukan sertifikasi transaksi secara cyber notary dengan tetap memperhatikan unsur-unsur akta otentik. Kedua, implikasi yuridis bagi notaris dan akta RPUS PT yang tidak memenuhi kewajiban untuk meletakkan sidik jari penghadap pada minuta akta adalah sah karena melekatkan sidik jari dalam minuta akta Notaris bukan suatu tindakan hukum dalam menentukan keabsahan atau otentisitas dari akta tersebut melainkan hanya berfungsi untuk menjamin kebenaran identitas penghadap. Namun, Notaris diharuskan melaksanakan kewajibannya tersebut dalam menjalankan profesinya sebagai Notaris, apabila tidak akan dikenakan sanksi administratif. Ketiga, Dengan adanya disharmonisasi yang terjadi antara Pasal 77 Ayat (1) dan (4) UUPT dengan Pasal 16 ayat (11) UUJN. Selain itu juga terdapat kekosongan norma yang mengatur mengenai sidik jari elektronik di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Maka dari itu, perlu sebuah terobosan setidaknya dilakukan harmonisasi terhadap UU tersebut agar menjamin suatu kepastian hukum, dan juga perlu untuk mengatur secara jelas bagaimana mekanisme dan syarat-syarat apa jasa yang harus dipenuhi untuk melakukan pembuatan Akta Relaas RUPS yang dilakukan Melalui Media Video Telekonferensi yang sah dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lain. Sekarang ini telah berkembang lebih lanjut mengenai mekanisme pengamanan untuk menjamin keaslian sebuah data digital, dengan menggunakan cetificate authorit dan ini perlu pengembangan di Indonesia agar penerapannya dapat menjamin kepastian hukum baik bagi Notaris maupun para penghadapnya.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menawarkan saran, antara lain: pertama, kedepan seharusnya pembentuk Undang-Undang yakni DPR dan Presiden harus dengan tegas mengatur lebih lanjut didalam Undang-Undang mengenai keabsahan akta notaris yang menggunakan teknologi khususnya melalui video konferensi, agar para notaris menjalankan tugasnya mempunyai suatu aturan hukum yang jelas. Kedua, kedepan diharapkan akan ada cyber notary, dalam hal RUPS yang dilaksanakan dengan telekonferensi dan keharusan yang ditentukan oleh UU untuk dibuat dalam akta otentik. Peraturan cyber notary hanya untuk mengakomodir RUPS telekonferensi yang diperbolehkan oleh UUPT, tetapi tidak untuk seluruh kegiatan Notaris menggunakan kecanggihan teknologi karena bagaimanapun seorang Notaris tunduk kepada UUJN. ketiga, Kedepan diperlukannya revisi atau perubahan atas adanya disharmonisasi yang terjadi antara Pasal 77 Ayat (1) dan (4) UUPT dengan Pasal 16 ayat (11) UUJN. Selain itu juga terdapat kekosongan norma yang mengatur mengenai sidik jari elektronik di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sangatlah penting bagi notaris untuk mengetahui mengenai perkembangan wacana cyber notary di Indonesia, karena peluang untuk mengimplementasikan cyber notary tersebut sangatlah terbuka Sudah saatnya notaris Indonesia menjadi notaris yang memanfaatkan keberadaan dalam upaya meningkatkan sistem pelayanan jasa di bidang kenotariatan.
Collections
- MT-Science of Law [333]