STATUS KEBERADAAN OPT PADI DAN PENGGUNAAN PESTISIDA DI TINGKAT PETANI PASCA IMPLEMENTASI PHT
Abstract
Penggunaan pestisida kimiawi di tingkat petani pada pertanaman padi, pada
sekitar dua dasawarsa pasca implementasi PHT diduga masih menjadi pilihan utama
petani dan perkembangan OPT utama pada tanaman padi masih cukup tinggi.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui status keberadaan OPT padi dan penggunaan
pestisida di tingkat petani serta sejauh mana petani masih menerapkan prinsip-
prinsip PHT. Penelitian dilakukan pada pertanaman padi musim kemarau di
kabupaten Bojonegoro dan kabupaten Ngawi propinsi Jawa Timur. Pada setiap
kabupaten dipilih dua desa contoh yaitu desa Mulyorejo kecamatan Balen dan
Ngraho kecamatan Kalitidu (kabupaten Bojonegoro) serta desa Dawu kecamatan
Paron dan Klitik kecamatan Geneng (kabupaten Ngawi).
Lahan pertanaman padi yang menjadi obyek penelitian dibedakan antara lahan
yang dikelola oleh petani SLPHT dan non SLPHT. Pengumpulan data di lahan
pertanaman padi meliputi keberadaan OPT (hama dan penyakit) yang dominan,
kepadatan populasi dan atau intensitas serangan OPT serta jenis atau varietas
padi yang ditanam. Penilaian terhadap kinerja petani dalam menerapkan prinsipprinsip
PHT pada pengendalian OPT dilakukan melalui wawancara dengan petani
responden menggunakan kuisioner. Petani responden juga dibedakan antara petani
SLPHT dan non SLPHT yang jumlahnya masing-masing 25 responden untuk
setiap desa.
Penentuan kepadatan populasi hama di lahan pertanaman dilakukan menggunakan
metode nisbi dan metode mutlak. Berdasarkan jenis hama yang ditemukan,
metode nisbi digunakan untuk menentukan kepadatan populasi wereng batang
coklat (WBC) dan metode mutlak untuk menentukan kepadatan populasi
penggerek batang padi putih (PBP). Wereng diperangkap menggunakan jaring
serangga dengan gerakan 10 kali ayunan ganda jaring searah diagonal luasan
v
lahan pertanaman sebanyak 15 kali pada luasan area tanaman padi secara
diagonal. Jumlah imago yang tertangkap, kemudian dihitung dan populasinya
dibandingkan antara lahan petani SLPHT dan non SLPHT. Kepadatan populasi
hama PBP ditentukan pada petak-petak contoh di lahan pertanaman. Petak-petak
contoh dengan luasan permukaan tanah 1 x 1 m2 (berisi sekitar 25 rumpun
tanaman) ditentukan secara acak/random dengan metode diagonal (Diagonal
Random Sampling Method). Pada setiap lahan petani yang diuji (SLPHT dan non
SLPHT) digunakan 15 petak contoh. Pengamatan populasi PBP pada setiap petak
contoh dilakukan pada tanaman contoh sebanyak lima rumpun per petak. Selain
kepadatan populasi, juga ditentukan tingkat kerusakan tanaman yang diakibat PBP
dengan menghitung intensitas serangan.
Pengukuran intensitas penyakit yang menggambarkan tingkat keparahan penyakit
untuk penyakit yang dominan ditemukan pada penelitian ini yaitu bercak
coklat sempit (BCS) ditentukan berdasarkan katagori keparahan infeksi dengan
skala 0-5 (berkisar tidak terjadi infeksi pada daun sampai lebih dari 75 persen permukaan
daun terinfeksi). Penentuan intensitas penyakit pada lahan petani yang
diuji (SLPHT dan non SLPHT) menggunakan petak contoh yang sama dengan
yang digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan tanaman akibat PBP yaitu
15 petak contoh, dengan 5 tanaman contoh yang terinfeksi BCS per petak contoh.
Pengamatan kepadatan populasi, intensitas serangan hama, dan intensitas
penyakit di lahan pertanaman milik petani SLPHT dan non SLPHT mulai
dilaksanakan saat tanaman umur 14 hari setelah tanam (hst) sampai dengan 42 hst
dengan selang satu minggu. Data yang diperoleh di lahan pertanaman
dibandingkan antara petani (SLPHT dan non SLPHT) serta dianalisis menggunakan
uji t-student. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani
ditetapkan dalam persentase pelaku, dibandingkan juga antara petani SLPHT dan
petani non SLPHT.
Jenis OPT yang ditemukan di empat desa contoh pada lahan petani SLPHT
maupun non SLPHT ternyata tidak berbeda. Jenis OPT yang dominan yaitu hama
wereng batang coklat (WBC) dan penggerek batang padi putih (PBP) serta tidak
ditemukan penyakit selain bercak coklat sempit (BCS). Penggerek batang padi
vi
putih di desa Ngraho, Dawu, dan Klitik, ditemukan di lahan petani SLPHT dan
non SLPHT pada awal pengamatan (tanaman umur 14 hst), sedangkan di Mulyorejo
keberadaan hama tersebut baru terdeteksi pada satu minggu kemudian (tanaman
umur 21 hst). Wereng batang coklat di Mulyorejo (pada lahan petani
SLPHT dan non SLPHT) seperti halnya PBP juga terdeteksi pada tanaman umur
21 hst, sementara di tiga desa yang lain yaitu Ngraho, Dawu, dan Klitik (lahan
petani SLPHT dan non SLPHT) populasi WBC baru terdeteksi pada tanaman
umur 28 hst.
Kepadatan populasi hama ternyata rendah, kurang dari 2 ekor per 10 kali
ayunan ganda jaring (WBC) dan intensitas serangan kurang dari 15 persen (PBP)
masih di bawah ambang ekonomi, kecuali di kabupaten Bojonegoro sudah melebihi
ambang ekonomi yaitu lebih dari 20 persen, sedangkan BSC dengan
intensitas penyakit lebih dari 25 persen menunjukkan derajat keparahan penyakit
termasuk berat.
Penggunaan pestisida terutama insektisida untuk pengendalian OPT masih
menjadi pilihan petani, meskipun frekuensinya sudah menurun dan petani yang
melakukan aplikasi pestisida secara terjadwal sudah makin berkurang. Petani
SLPHT maupun non SLPHT tampak memiliki pemahaman mengenai PHT,
ditunjukkan adanya transfer ilmu tetapi prinsip-prinsip PHT belum sepenuhnya
dilakukan. Petani belum menerapkan pengendalian biologi, namun beberapa cara
pengendalian kultur teknik dalam pengelolaan tanaman telah dilakukan dengan
baik misalnya dalam hal penanaman secara serentak, sanitasi, dan penggunaan
varietas.
Collections
- UT-Faculty of Agriculture [4297]