Studi Kasus Perkembangan Emosi Anak Usia 6 Tahun dari Keluarga Bercerai di RA Perwanida 01 Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Tahun Ajaran 2021/2022
Abstract
Keluarga merupakan lembaga yang pertama kali yang mengajarkan
individu dengan menjadi role model bagi anak dalam mengelola dan
mengeksplorasi emosinya. Imitasi anak pada orang tua akan menentukan reaksi
potensial yang akan mereka gunakan untuk mengungkapkan emosinya. Pada
umumnya keluarga terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak. Namun, dalam
kehidupan nyata sering dijumpai keluarga dimana salah satu orang tuanya tidak
ada. Keadaan ini disebut keluarga dengan orang tua tunggal.
Orang tua tunggal merupakan orang tua yang secara sendirian
membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab
pasangannya. Setiap orang tua tidak pernah berkehendak menjadi orang tua
tunggal, begitupun dengan semua anak pasti mendambakan keluarga yang
lengkap dan harmonis. Pada kenyataannya, kondisi ideal tersebut tidak
selamanya dapat dipertahankan. Banyak faktor yang menjadi penyebab
perpisahan. Perceraian berdampak pada masa pertumbuhan dan perkembangan
anak, dimana anak sedang aktif-aktifnya bertanya, mencari tahu hal baru yang
dilihatnya, serta sedang proses dalam pembentukan emosinya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal di RA Perwanida 01
Jember di kelas B, peneliti menemukan seorang anak berinisial S yang belum
dapat mengetahui emosi yang ada pada dirinya, dan tidak dapat mengekspresikan
emosi dengan tepat. Hal ini terlihat saat anak berinteraksi dengan temantemannya. Anak juga belum dapat melakukan pertahanan diri dan menunjukkan
sikap kewaspadaan terhadap orang lain. Hal ini terlihat saat anak dipukul
temannya, anak tidak melakukan perlawanan dan bahkan tidak merespon.
Menurut hasil wawancara dengan guru kelas menjelaskan bahwa anak berinisial
“S” berasal dari keluarga bercerai, kesehariannya anak diasuh oleh orang tua
yang terpisah dan saat ini tinggal bersama neneknya, sesekali ayah “S”
mengunjungi anak tersebut saat akhir pekan. Berdasarkan permasalahan yang
ada di lapangan, peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis secara
mendalam terhadap perkembangan emosi anak dari keluarga bercerai tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di RA perwanida 01, Kecamatan Sumbersari,
Kabupaten Jember selama 2 minggu. Subjek penelitian ini adalah satu anak yang
berinisial “S”. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian studi kasus dengan
pendekatan kualitatif. Sumber data yang diperoleh dari informan yaitu 1 anak
yang berinisial “S”, guru kelas, nenek dan orang tua. Metode pengumpulan data
yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis
data yang digunakan melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
Adapun faktor penyebab perceraian orang tua “S” adalah karena terjadi
perselingkuhan, yang berarti salah satu pasangan mengkhianati dan menciderai
pernikahannya. Tentu, perceraian orang tua ini sangat berdampak besar terhadap
diri anak. Dalam penelitian ini dampak yang terlihat cenderung dampak yang
negatif, anak terkadang merasa cemburu sosial, merasa sedih dan kesepian hingga
akhirnya harus mengalihkannya ke smartphone. Emosi yang paling sering muncul
adalah marah. Saat marah anak membenturkan kepalnya ke lantai dan tembok,
menyakiti diri sendiri dan juga membanting-banting barang, namun hal ini
dilakukan hanya di rumah nenek dan mamanya, karena anak “S” mengaku takut
jika melakukan hal demikian didepan ayahnya, serta tidak melakukannya di
sekolah karena orang tua dan neneknya yang mengajarkan untuk mengalah dan
tidak menghiraukan temannya yang menggangu, sehingga emosi marahnya harus
tertahan dan diluapkan saat di rumah.
Selain itu, anak menjadi sangat sensitif dan mudah sekali menangis, anak
“S” juga tidak berani menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Anak “S” selalu
menunggu diberi ruang oleh orang disekitarnya, baru memiliki keberanian untuk
mengungkapkan sesuatu.