Show simple item record

dc.contributor.authorAPRILIYASARI, Riski
dc.date.accessioned2022-10-06T22:23:47Z
dc.date.available2022-10-06T22:23:47Z
dc.date.issued2021-07
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/109861
dc.descriptionFinalisasi unggah mandiri file repositori_07 Oktober 2022_Kurnadien_US
dc.description.abstractKemajuan Teknologi mendorong seseorang untuk dapat mengklasifikasikan kasus yang terjadi, yang menjadi sorotan akhir-akhir ini yakni banyaknya permasalahan mengenai gangguan preferensi seksual yang sebagian besar korbannya adalah anak atau dikenal dengan istilah Pedofilia. UUPA tidak mengenal istilah pedofilia sebagai suatu kejahatan yang dilakukan karena adanya gangguan psikologis dan justru UUPA ini menjadikan diaturnya pemberatan hukuman dan diaturnya hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan terhadap anak berupa penambahan pidana penjara menjadi 20 tahun, seumur hidup, hukuman mati dan hukuman tambahan berupa sanksi tindakan yakni kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku, pemasangan chip atau alat deteksi elektronik untuk pelaku dan juga rehabilitasi. Selain itu UUPA sendiri juga telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap korban. Namun segala ketentuan dalam UUPA ini tidak berimplikasi pada pelaksanaan putusan yakni Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst atas nama Terdakwa AL, S.Pd.K yang terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 82 ayat (2) UUPA. Tujuan penulisan skripsi ini ialah pertama, untuk menjelaskan kesesuaian pemidanaan tehadap pelaku orang dengan pedofilia dan keseimbangan perlindungan terhadap korban dalam Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst dengan UUPA. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian pendekatan undang undang dan pendekatan konseptual. Tipe penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif. Bahan hukum yang digunakan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian dari skripsi ini adalah Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst belum berorientasi pada teori individualisasi pidana. Berdasarkan pemeriksaan persidangan Terdakwa AK, S.Pd.K terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 82 ayat (2) UUPA dan dijatuhi pidana penjara selama 9 tahun dan denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), namun berdasarkan fakta persidangan, terdakwa AK mengidap penyakit preferensi seksual dimana hasil dalam pemeriksaan Visum Psikiatri Nomor: R/VERP/12/X/2017/Rs.Bhayangkara merupakan seorang pedofilia. Perubahan kedua dalam UUPA ini dibuat untuk mengatasi fenomena kekerasan terhadap anak agar dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, sehingga pada pelaku tindak pidana pencabulan diatur mengenai sanksi tambahan dalam Pasal 82 ayat (6) berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektonik. Ide double track system ini dapat diterapkan pada Terdakwa AL, S.Pd.K yakni disamping dijatuhi sanksi pidana penjara terhadap pelaku juga dapat dikenai sanksi tindakan seperti yang telah diatur dalam UUPA. Dengan demikian tujuan pemidanaan menurut Prof. Eddy dan RKHUP dan dengan demikian tujuan efektifitas dalam pengenaan sanksi terhadap pelaku pedofilia dapat tercapai. Kedua, Pemidanaan dalam Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst hanya memberikan perlidungan yang sifatnya abstrak kepada Anak Korban dalam bentuk penjatuhan pidana terhadap Terdakwa AL, S.Pd.K, sementara apabila mengacu pada ketentuan Pasal 69AUUPA dan Pasal 71D, bentuk perlindungan khusus telah diatur secara substansial. Saran yang dapat digunakan sebagai bahan masukan dari penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, seyogyanya para penegak hukum dalam proses penyelesaian perkara pencabulan oleh pelaku orang dengan pedofilia harus memperhatikan keadaan dari pelaku atau dikenal dengan teori individualisasi pidana dan harus berorientasi pada keseimbangan kepentingan korban dan pelaku dimana terhadap pelaku orang dengan pedofilia selain dipidana dapat dikenai sanksi tindakan, karena pengenaan pidana yang lama terhadap penderita pedofilia ini tidak akan mengubah hasrat seorang penderita. Sesuai dengan tujuan upaya perlindungan hukum kepada Anak Korban yang sifatnya abstrak dan konkrit. Hak-hak korban seyogyanya juga diberikan tidak hanya melalui putusan pengadilan namun pada proses peradilan, pemberian perlindungan dan pendampingan pada saat pemeriksaan mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan sidang pengadilan dan juga upaya setelah terjadinya tindak pidana baik melalui upaya rehabilitasi atau konseling atas tindak pidana yang telah dialami korban, selain itu juga melalui pendampingan psikososial pada saat pengobatan hingga pemulihan dan pemberian restitusi yang berhak untuk didapatkan oleh korban. Peran penegak hukum dalam rangka sosialisasi serta implementasi terhadap hak-hak korban sangat diperlukan agar penanganan perlindungan terhadap anak bisa dilakukan secara maksimal.en_US
dc.description.sponsorshipDosen Pembimbing Utama : Dr. Y. A Triana Ohoiwutun, S.H., M.H Dosen Pembimbing Anggota : Dodik Prihatin AN, S.H., M.Hum.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectPEMIDANAANen_US
dc.subjectPENCABULANen_US
dc.subjectANAKen_US
dc.subjectPELAKU PEDOFILIAen_US
dc.titleAnalisis Pemidanaan dalam Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak oleh Pelaku Pedofilia (Studi Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/Pn.Gst)en_US
dc.typeSkripsien_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record