Mantra Dalam Tradisi Ta’-Buta’An: Representasi Identitas Masyarakat Panduman Jember
Abstract
Tradisi Ta‟-buta‟an merupakan ritual bersih desa yang diadakan rutin
setiap satu tahun sekali. Prosesi ritual yang menggunakan mantra-mantra tersebut
dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharram yang bertepatan dengan ulang tahun
Islam. Dalam pelaksanaannya terdapat buto laki-laki dan perempuan yang
menjadi ikon dari tradisi tersebut. Buto yang pertama digambarkan seperti Kebo
Marcuet sedangkan yang kedua seperti Srikandi. Berdasarkan latar belakang
tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji mantra-mantra yang menjadi sarana
ritual dalam tradisi Ta‟-buta‟an dalam konteks budaya masyarakat pemiliknya.
Kerangka teori yang menjadi dasar kajian meliputi (1) teori struktur, formula, dan
fungsi, serta (2) teori representasi dan identitas.
Untuk membahas mantra dalam tradisi Ta‟-buta‟an digunakan metode
kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik pengumpulan data meliputi teknik
pengamatan, wawancara, dan studi pustaka. Pembahasan mencakup (1) struktur,
formula, dan fungsi, dan (2) representasi mantra dalam tradisi Ta‟-buta‟an sebagai
identitas masyarakat Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember.
Mantra yang digunakan untuk ritual dalam tradisi Ta‟-buta‟an mencakup lima
mantra, yaitu mantra Penolak, Pengabaran, Kanuragan, Ngelarisagih, dan
Berseagih Disah. Kelima mantra tersebut dianalisis sesuai dengan tujuan
penelitian dan teori yang menjadi referensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur mantra-mantra yang ada
dalam tradisi Ta‟-buta‟an terdiri atas unsur judul, unsur pembuka, unsur niat,
unsur sugesti, unsur tujuan, dan unsur penutup. Konvensi struktur memiliki
keterkaitan yang erat pada unsur pembuka dan penutup. Pada unsur pembuka
terdapat persamaan kecuali pada mantra Berseagih Disah. Mantra berseagih
Disah memakai unsur pembuka Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm, sedangkan untuk unsur pembuka keempat mantra lainnya memakai surah Alfatihah. Terdapat pula
persamaan pada unsur penutup yaitu bacaan Lahaula walakuata illabillah. Hasil
kajian formula menunjukkan bahwa mantra Penolak terdapat pola formula
paralelisme sintaksis, repetisi anafora, dan repetisi tautotes. Pada mantra
Pengabaran terdapat pola paralelisme sintaksis, repetisi anafora, dan repetisi
tautotes. Pada mantra Kanuragan terdapat pola paralelisme sintaksis. Pada mantra
Ngelarisagih terdapat pola paralelisme sintaksis, pola repetisi anafora, dan pola
repetisi tautotes. Pada mantra Berseagih Disah terdapat pola repetisi anafora dan
pola paralelisme sintaksis. Hasil kajian fungsi menunjukkan bahwa fungsi mantra
dalam satu-kesatuan dengan rangkaian prosesi ritual pada tradisi Ta‟-buta‟an
adalah sebagai alat pendidikan, peningkatan perasaan solidaritas kelompok,
pengunggul dan pencela orang lain, pelipur lara, dan kritik masyarakat. Fungsi fungsi tersebut dirasakan oleh individu atau masyarakat secara kolektif dalam
rangkaian upaya untuk menciptakan keselamatan dan ketenteraman bersama.