Pengambilalihan Kepemilikan Barang dan Peralatan dalam Kontrak Kerjasama Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Abstract
Usaha pertambangan migas diharapkan mampu memberikan kontribusi riil bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Usaha pertambangan minyak dan gas bumi di
Indonesia terbagi menjadi dua sektor usaha yang terdiri dari usaha hulu dan usaha hilir.
Kedua usaha tersebut juga terbagi dalam tahap eksplorasi dan ekploitasi dalam
melakukan pengusahaan hasil migas. Sebagai cabang produksi yang penting,
pengusahaan migas dikendalikan oleh Kontrak Kerja Sama (Bagi Hasil Produksi)
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi. Garis besar dalam kontrak tersebut memuat beberapa
hal utamanya mengenai kepemilikan sumber daya alam, wilayah kerja operasi migas,
cadangan migas, modal dan barang/peralatan pendukung yang canggih. Namun yang
menjadi persoalan dalam kontrak tersebut mengenai kepemilikan barang dan peralatan
yang dibeli sendiri oleh Kontraktor. Kontrak Kerja Sama tersebut mengatur
bahwasannya barang-barang pendukung operasi migas dimasukkan dalam kategori
Barang Milik Negara (BMN) tanpa ganti rugi. Ketentuan dalam kontrak tersebut
cenderung akan merugikan para kontraktor yang telah melakukan tahap eksplorasi akan
tetapi tidak menemukan cadangan migas sampai batas waktu yang ditentukan. Batas
waktu eksplorasi dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Migas selama 6 (enam) tahun dan dapat mengajukan
perpanjangan satu kali selama 4 (empat) tahun dan apabila setelahnya belum berhasil
menemukan cadangan migas, maka blok migas dikembalikan kepada negara.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis mengangkat permasalahan
menjadi sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengambilalihan
Kepenilikan Barang dan Peralatan dalam Kontrak Kerjasama Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi”. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini terkait penerapan
asas sebagai landasan fundamental kontrak kerjasama usaha hulu minyak dan gas
bumu. Selan itu, permasalahan mengenai pertentangann nomra dalam kontrak
kerjasama usaha hulu minyak dan gas bumi. Tipe penelitian yuridis normatif (legal
research), pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi serta Kontrak Kerjasama tidak mengatur ganti rugi pengambilalihan
kepemilikan barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor sebagaimana seharusnya
dalam kontrak tersebut juga menyertakan ganti rugi kepada kontraktor atau penanam
modal. Ketentuan ganti rugi tersebut diatur dalam ketentuan pengambilalihan
kepemilikan barang dan peralatan penanam modal dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengharuskan negara dalam
hal ini sebagai para pihak memberikan ganti rugi kepada kontraktor apabila
pengambilalihan kepemilikan barang dan peralatan tetap dikehendaki. Akibat hukum
pengambilalihan kepemilikan barang dan peralatan kontrak kerjasama usaha hulu
minyak dan gas bumi ialah hilangnya kedudukan berkuasa kontraktor terhadap barang
dan peralatan tersebut disebabkan adanya pembatasan oleh Peraturan Pemerintah
nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Selain itu,
akibat pengambilalihan tersebut mengakibatkan barang dan peralatan kontraktor
ditetapkan sebagai Barang Milik Negara sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 89/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Berasal dari
Pelaksanaan Kontrak Kerjasama Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi berasal
dari perolehan yang sah. Adanya pertentangan norma yang diatur dalam Pasal 78
Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
Saran yang dapat diberikan penulis, pertama, pengaturan ganti rugi diatur dalam
Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu
Migas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Akibat hukum yang telah ditimbulkan dijadikan dasar
pemerintah memeriksa ulang Undang-Undang Migas, Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Menteri
Energi Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross
Split, Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 89/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara yang Berasal Dari Pelaksanaan Kontrak Kerjasama Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Ketentuan-Ketentuan Umum dalam Kontrak
Kerjasama Bagi Hasil Produksi Migas terkait pengambilalihan barang dan peralatan
dalam kegiatan usaha hulu migas agar adanya kepastian hukum bagi para pihak. Agar
tercapainya konstruksi hukum yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Migas dan Undang-Undang Penanaman Modal, maka Pemerintah dan DPR mengkaji
ulang ketentuan –ketentuan soal pertukaran hak dan kewajiban, kepastian hukum
pengambilalihan kepemilikan barang dan peralatan kegiatan usaha hulu migas agar
tidak terjadi ketidakseimbangan bagi para pihak.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]