Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Orang dengan Retardasi Mental dalam Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 373/Pid.sus/2017/PN Bnj)
Abstract
Peraturan terkait pertanggungjawaban pidana belum tercantum secara
tegas dan ekslpisit dalam KUHP. Pasal 44 KUHP hanya menjelaskan secara
negatif, sehingga dalam penerapannya seringkali menimbulkan pertanyaan yaitu
pada batas manakah seorang pelaku tindak pidana dapat dikatakan berada dalam
keadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan pertanggungjawaban
pidana tersebut juga dapat berakibat adanya ketidaktepatan penjatuhan sanksi
pidana terhadap pelaku dengan gangguan mental. Salah satu contoh kasusnya
yaitu terdapat dalam Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj dalam putusan
tersebut Terdakwa G yang dalam fakta hukumnya terbukti menderita retardasi
mental tingkat sedang dengan IQ 46. Akan tetapi dalam pertimbangannya Majelis
Hakim tidak mempertimbangkan kondisi retardasi mental Terdakwa G sebagai
penentu kemampuan bertanggungjawabnya, dan menyatakan bahwa Terdakwa G
dapat bertanggungjawab sehingga.
Tujuan dari penelitian ini yaitu mencoba menganalisis kembali
pertanggungjawaban pidana pelaku dengan retardasi mental yang melakukan
tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam Putusan Nomor
373/Pid.Sus/2017/PN Bnj menurut hukum pidana, dan menganalisis ketepatan
penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap orang dengan retardasi mental dalam
Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj yang ditinjau dari tujuan pemidanaan.
Penyusunan skripsi ini menggunakan metode penelitian dengan tipe
penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang digunakan untuk
menyelesaikan isu hukum yang terdapat dalam skripsi ini yaitu pendekatan
undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Sumber-sumber
hukum yang digunakan dalam penelitian ini ialah sumber yang berasal dari bahan
hukum primer, baham hukum sekunder, dan bahan non hukum.
Hasil penelitian skripsi ini yaitu pertama dalam ilmu kejiwaan terdapat
beberapa kategori kecacatan mental yang dapat dilihat dari hasil tingkat
kecerdasan (IQ) seseorang. Terdakwa G yang memiliki IQ 46 dapat dikategorikan
dalam kondisi imbecil atau retardasi mental tingkat sedang yang mana dengan
kondisi tersebut Terdakwa G memiliki tingkat kecerdasan yang setara dengan
anak normal berusia 3-7 tahun. Terkait kondisi imbecil ini sejatinya telah
termasuk dalam kondisi kurang sempurna akalnya dalam pertumbuhan sesuai
dengan pasal 44 KUHP, akan tetapi dalam peradilan pidana di Indonesia belum
terdapat standar yang seragam dalam menentukan ukuran atau kompetensi
bertanggungjawab bagi orang dengan kondisi retardasi mental. Hal ini juga
disebabkan karena belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas dan
eksplisit terkait kondisi dengan retardasi mental. Peraturan tersebut baru terakomodir dalam naskah RKUHP, yang mana dalam pasal 39 Naskah RKUHP
Tahun 2019 disebutkan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak
pidana terbukti menderita disabilitas mental yang dalam keadaan salah satunya
disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi
dapat dikenai tindakan. Sehingga dengan dapat disimpulkan bahwa kondisi
retardasi mental sedang yang diderita Terdakwa G termasuk dalam jiwanya cacat
atau kurang sempurna akalnya dalam pertumbuhan sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, tetapi dapat
dikenai tindakan.
Kedua penjatuhan sanksi pidana penjara yang kurang tepat, dapat
berpengaruh buruk terhadap kondisi mental yang dialami oleh Terdakwa. Kondisi
retardasi mental yang dialami oleh Terdakwa membuat Terdakwa terbatas dalam
bersosialisasi sehingga dapat memungkinkan Terdakwa menjadi objek kekerasan
oleh teman sesama narapidananya, selain itu setelah kembali ke masyarakat cap
sebagai pelaku pencabulan terhadap anak juga dapat menghambat Terdakwa
untuk kembali diterima oleh masyarakat sekitar. Dampak negatif tersebut tentu
sangat bertolak belakang dengan tujuan pemidanaan yang ditujukan tidak hanya
sebatas untuk pembalasan tetapi juga ditujukan sebagai upaya pencegahan dan
perbaikan diri atau rehabilitasi pelaku tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa penjatuhan sanksi pidana penjara selama 5 tahun penjara terhadap
Terdakwa G sangat kurang tepat, dan dengan kondisi retardasi mental tingkat
sedang Terdakwa seharusnya tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.
Dengan demikian diharapakan segera terdapat peraturan yang jelas
mengatur terkait kondisi retardasi mental. Selain itu Majelis Hakim juga harus
menggali lebih dalam terkait hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan
bertanggungjawab seorang pelaku tindak pidana agar dapat tertuang putusan yang
seadil-adilnya dan sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]