dc.description.abstract | Perdagangan ilegal satwa liar yang juga merupakan kejahatan yang telah
terorganisir dengan rapi, memiliki jaringan luas dan kuat serta dengan modus
pemilikan, pemeliharaan, penyelundupan hewan yang dilindungi yang terus
berkembang.Dalam beberapa kasus perdagangan illegal satwa liar justru
dilakukan oleh eksportir satwa liar yang memiliki izin resmi. Salah satu contoh
kasus yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai
perdagangan liar satwa yang dilindungi di wiayah Gorontalo. Bahwa dalam
Putusan Pengadilan Negeri Limboto Nomor 176/Pid.B/LH/2017/PN Lbo
tanggal 19 Desember 2017 menyatakan bahwa Syafron R. Pantoli alias Adam
teag terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“dengan sengaja memelihara dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan hidup”.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
yuridis normatif (Legal Research) dengan pendekatan undang-undang,
pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan
dalam skripsi ini adalah bahan hukum sekunder dan primer. Analisis bahan
hukum yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan metode deduktif, yaitu
menyimpulkan pembahasan dari hal yang mulanya bersifat umum ke hal yang
bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa hasil pembahasan : Pertama
Penerapan pasal 40 ayat (2) juncto pasal 21 Undang-Undang No 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dalam Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah sesuai dengan perbuatan Terdakwa.
Hal tersebut dapat dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur yang telah diuraikan dari pasal per pasal. bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan tunggal
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 (2) Jo pasal 21 ayat (2) huruf a Undangundang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistem, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: “Setiap orang” bahwa
Terdakwa sebagai orang sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban, mampu melakukan perbuatan hukum dan dapat
mempetanggungjawabkan segala perbuatannya dihadapan hukum. “Dilarang
menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki dan memelihara,
mengangkut dan memperniagakan” bahwa pada saat ditemukan terdakwa
sedang mengurus burung –burung miliknya. “Satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup”. Bahwa satwa liar yang ditemukan dirumah terdakwa yakni :
burung kakaktua putih jambul kuning 4 (empat) ekor, burung nuri kepala
hitam 7 (tujuh) ekor,burung nuri ternate 3 (tiga) ekor,burung nuri dora 1 (satu)
ekor dan semua dalam keadaan hidup. Dan semua jenis burung tersebut
merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan peraturan pemerintah No.8
tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Kedua,
Pertimbangan hakim telah sesuai dengan fakta di persidangan, hanya saja
penjatuhan pidana 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dan denda sebesar
Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) apa bila tidak dibayar maka diganti
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan belum memberikan efek jera bagi
Pelaku dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya adalah pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun , dikurangi selama Terdakwa berada dalam
tahanan sementara dengan perintah terdakwa untuk tetap ditahan. dan denda
sebesar Rp100.000.000- (seratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan. Hal ini bila dilihat dari pertimbangan hakim terhadap keadaan yang
memberatkan Terdakwa yaitu karena perbuatan Terdakwa merusak ekosistem
satwa liar dan perbuatan Terdakwa dapat menyebabkan musnahnya species
satwa burung yang dilindungi. Sehingga ditakutkan di kemudian hari, masih
akan terjadi lagi tindak pidana perdagangan satwa liar yang dlindungi di
Indonesia.
Berdasarkan Hal tersebut ditemukan saran Pertama , Subjek hukum yang dikenai sanksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 hanya dilakukan
kepada orang per orang dan tidak mengatur mengenai koorporasi pelaku tindak
pidana tersebut. Sehingga memungkinkan korporasi bisa melakukan tindak
pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi secara massal. Kedua,
Penjatuhan sanksi pidana dalam undang-undang ini dirumuskan dengan
penyebutan kualifikasi deliknya yaitu kejahatan dan pelanggaran (Pasal 40 Ayat
(5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990). Melihat rumusan yang ada dalam
pengaturan pidana pada Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 masih menganut
teori pembalasan atau teori absolut. Teori absolut sendiri berpendapat bahwa
hukuman adalah suatu pembalasan. Dalam pasal penjatuhan sanksi pidana pada
Undang-undang no. 5 Tahun 1990 ini dianggap bahwa sanksi denda yang
dijatuhkan tidak dapat mengganti kerugian ekologis yang terjadi | en_US |