Optimasi Tween dan Polietilen Glikol pada Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System Glimepirid dalam Minyak Zaitun
Abstract
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang ditandai
dengan meningkatnya kadar gula darah. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(riskesdas) DM tipe 2 mendominasi sekitar 90-95% penyakit DM di Indonesia.
Indonesia juga menduduki peringkat ke-7 dalam jumlah penderita diabetes pada
tahun 2019. Glimepirid merupakan salah satu obat golongan sulfonilurea generasi
ketiga yang efektif digunakan sebagai terapi DM tipe 2. Menurut Biopharmaceutics
Classification System (BCS) glimepirid tergolong dalam BCS Class II karena
memiliki tingkat kelarutan yang rendah namun memiliki permeabilitas yang tinggi.
Kelarutan glimepirid yang rendah dalam air menimbulkan masalah terkait
disolusi yang rendah sehingga absorpsi dan bioavailabilitas glimepirid juga rendah.
Salah satu sistem penghantaran obat yang cocok digunakan yakni Self NanoEmulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) karena nanoemulsi yang terbentuk
dari sediaan SNEDDS terbukti stabil secara termodinamik dengan ukuran droplet
kurang dari 200 nm, sehingga dapat meningkatkan kelarutan glimepirid. Komponen
SNEDDS terdiri dari minyak zaitun sebagai fase minyak, tween 80 sebagai
surfaktan, dan PEG 400 sebagai kosurfaktan dipilih berdasarkan hasil orientasi dan
studi pustaka. Proporsi jumlah tween 80 dan PEG 400 sebagai surfaktan dan
kosurfaktan dapat berpengaruh pada ukuran droplet nanoemulsi yang terbentuk
pada sediaan SNEDDS sehingga perlu dilakukan optimasi untuk mendapatkan
proporsi yang tepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi pengaruh proporsi tween 80 dan
PEG 400 dalam formulasi sediaan SNEDDS glimepirid serta responnya terhadap
persen transmitan dan waktu emulsifikasi. Penelitian ini menggunakan metode
simplex lattice design yang dianalisis melalui Software Design Expert sehingga
menghasilkan formula optimum dan kemudian dilakukan uji verifikasi dan karakterisasi meliputi organoleptis, pH, ukuran droplet, distribusi droplet, stabilitas
termodinamika, dan uji disolusi in vitro. Uji disolusi in vitro dilakukan
menggunakan alat uji disolusi tipe 2 untuk menentukan persen pelepasan dan
efisiensi disolusi. Hasil uji disolusi in vitro dianalisis menggunakan add-in program
DDSolver untuk menentukan model kinetika pelepasan yang tepat dari formula
optimum SNEDDS glimepirid.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan tween 80 dan PEG 400
akan memberikan peningkatan nilai transmitan dan waktu emulsifikasi, serta tidak
ada pengaruh interaksi antara tween 80 dan PEG 400 terhadap nilai transmitan dan
waktu emulsifikasi. Tween 80 berpengaruh lebih besar dalam meningkatkan
transmitan dan waktu emulsifikasi dibandingkan dengan PEG 400. Formula
optimum SNEDDS glimepirid terdiri atas 0,1 mL minyak zaitun, 0,775 mL tween
80, dan 0,125 mL PEG 400 dengan prediksi nilai transmitan 95,372% dan waktu
emulsifikasi 47,202 detik. Formula optimum SNEDDS glimepirid memiliki
tampilan warna kuning, jernih, dan memiliki aroma khas tween 80; pH sebesar
6,263±0,040; ukuran droplet sebesar 22,42±2,30 nm; distribusi droplet
monodispersi dengan indeks polidispersitas sebesar 0,00888; dan sistem yang stabil
ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase maupun pengendapan pada uji
stabilitas.
Hasil uji disolusi in vitro formula optimum SNEDDS glimepirid
menghasilkan disolusi yang mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan
dengan glimepirid murni dengan nilai persen (%) pelepasan menit ke-60 masingmasing sebesar 98,077±0,560% dan 38,563±1,713% serta nilai efesiensi disolusi
60 menit masing-masing sebesar (60,897±0,346)% dan (24,883±0,905)%. Model
kinetika pelepasan formula optimum SNEDSS glimepirid yaitu model KorsmeyerPeppas dengan nilai R2 Adjusted 0,9900, Akaike Information Criterion (AIC) 25,4467, dan Model Selection Criterion (MSC) 4,1708.
Collections
- UT-Faculty of Pharmacy [1469]