Show simple item record

dc.contributor.authorSANTOSO, Dimas Bagus
dc.date.accessioned2022-04-06T04:10:57Z
dc.date.available2022-04-06T04:10:57Z
dc.date.issued2021-06-29
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/106154
dc.description.abstractIIFFMM (Misi Pencari Fakta yang dibentuk oleh Dewan HAM PBB) pada 27 Agustus 2018 menerbitkan sebuah laporan tentang setidaknya terdapat 10.000 korban meninggal dan lebih dari 725.000 warga etnis Rohingya melarikan diri ke negara Bangladesh akibat “Operasi pembersihan” yang dilakukan oleh Militer Myanmar. Upaya persekusi yang dialami oleh etnis Rohingya disinyalir telah berlangsung sejak lama, namun pemerintah Myanmar membantah segala tuduhantuduhan tersebut. Kejadian tersebut dalam hukum internasional dapat dikategorikan sebagai kejahatan HAM berat, dan pelakunya dapat diadili di ICC. Namun permasalahannya Myanmar tidak meratifikasi Statuta Roma, sehingga upaya penegakan tidak bisa dilakukan dengan mudah. Oleh sebab itu diperlukan solusisolusi yang lebih efisien dan efektif untuk menyelesaikan kasus “operasi pembersihan” yang dialami oleh etnis Rohingya. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin menjabarkan apakah telah terjadi peristiwa hukum yang merujuk pada pelanggaran HAM berat di Myanmar bila dilihat dari bukti-bukti lapangan serta untuk menentukan kategori pelanggarannya jika ditinjau dari teori terjadinya pelanggaran HAM berat khususnya genosida. Serta untuk menjabarkan apa yang dapat dilakukan masyarakat internasional untuk mengatasi permasalahan “operasi pembersihan” yang dialami Etnis Rohingya berdasarkan hukum internasional. Penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus dalam penyusunan karya ini. Berdasarkan fakta di lapangan serta teori Stages of Genocide, Tatmadaw terbukti telah melakukan kejahatan HAM berat yaitu genosida terhadap etnis Rohingya. Untuk menyelesaikan kasus “operasi pembersihan” tersebut, dapat ditempuh dengan tiga mekanisme, yaitu: Penerapan Prinsip Responsibility to protect, Peranan IGO dalam Penyelesaian Konflik Myanmar, serta Penegakan Kasus “Operasi Pembersihan” Melalui Peradilan ICC. ===== The IIFFMM (The Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar) on 27 August 2018 published a report on at least 10.000 deaths and more than 725,000 Rohingyas who fled to Bangladesh as a result of “clearance operations” carried out by the Myanmar Military. These incidents under international law can be categorized as serious human rights crimes, and the perpetrators can be tried in the ICC. However, the problem is that Myanmar has not ratified the Rome Statute, so enforcement efforts cannot be carried out easily. Therefore, more efficient and effective solutions are needed to resolve the case of "clearance operations" experienced by the Rohingya ethnic. The author uses a normative research method with a statute approach and a case approach in the preparation of the article. The Tatmadaw has been proven to have committed serious human rights crimes, genocide against the Rohingya ethnic. To resolve that, three mechanisms can be used: the application of the principle of responsibility to protect, the role of the IGO, and the enforcement of the “clearance operation” case through the ICC court. In addition, the perpetrators of genocide, especially the Tatmadaw General, must be brought to justice immediately so that immunity does not continue to occur. Keywords: Rohingya, Tatmadaw, Genocide, ICC.en_US
dc.description.sponsorshipGautama Budi Arundhati, S.H.,LL.M.(Pembimbing.I)en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectEtnis Rohingyaen_US
dc.subjectHukum Internasionalen_US
dc.subjectGenosidaen_US
dc.titlePenyelesaian Kasus "Operasi Pembersihan" pada Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasionalen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record