Kesepakatan Dalam Perceraian Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Abstract
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana
regulasi kesepakatan dalam perceraian menurut prespektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, apa akibat hukum
dari perceraian hanya dengan kesepakatan menurut Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tujuan penulisan skripsi ini
dibagi menjadi dua yaitu : tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dalam
penulisan skripsi ini adalah : Pertama, untuk memenuhi tugas akhir kuliah Studi
Ilmu Hukum guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jember. Kedua, merealisasikan ilmu yang didapatkan selama
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jember dengan fenomena nyata di
dalam masyarakat. Ketiga, menginformasikan kepada masyarakat terkait
kesepakatan dalam perceraian menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sedangkan tujuan khusus yaitu : Pertama,
untuk mengetahui dan menganalisa perbandingan regulasi kesepakatan dalam
perceraian menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Kedua, untuk mengetahui dan menganalisa perbandingan
akibat hukum dari perceraian dengan kesepakatan menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : Yuridis
Normatif, ialah permasalahan yang diangkat difokuskan dengan menerapkan pada
kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif dengan pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan
pendekatan perbandingan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, bahan non- hukum dan analisis yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu cara berfikir yang menerapkan hal-hal yang umum
terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus.
Berdasarkan pembahasan dalam skripsi ini pertama, bahwa menurut
Undang-Undang Perkawinan, perceraian dengan kesepakatan itu tidak bisa
dilakukan karena perceraian harus dilakukan didepan persidangan sesuai dengan
prosedur yang ada, tetapi menurut Hukum Islam itu dapat dilakukan. Kesepakatan
dalam perceraian tidak dapat dilakukan karena Undang-Undang Perkawinan
menganut Asas mempersulit perceraian seperti yang terdapat pada Pasal 39 ayat
(1) dan ayat (2) dan itu membuat suami kehilangan hak mutlak untuk mentalak,
jadi talak tidak bisa dilakukan semena-mena. Talak dapat dilakukan setelah hakim
menjatuhkan putusan terkait izin pihak suami untuk menjatuhkan talak terhadap
istrinya. Kedua, perkawinan dan perceraian menimbulkan akibat hukum. Untuk
menimbulkan akibat hukum dari perceraian maka perceraian harus dilakukan
didepan persidangan dan yang bisa melakukannya adalah pasangan dengan
perkawinan yang dicatatkan. Sedangkan untuk perkawinan sirri, hanya bisa
melakukan kesepakatan perceraian dengan pengucapan lafaz talak dan khulu‟.
Menurut Undang-Undang Perkawinan jika perceraian dilakukan hanya dengan
kesepakatan saja tanpa melalui persidangan maka tidak menimbulkan akibat
hukum, tetapi dalam hukum islam jika salah satu pihak sudah menyatakan talak
atau khulu‟ maka akibat hukum tersebut timbul saat itu juga.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah Pertama, perceraian di luar
persidangan hanya dengan kesepakatan kedua belah pihak menurut Undang Undang Perkawinan tidak diakui oleh negara dan dianggap tidak pernah terjadi.
Namun jika dilihat dari hukum Islam, melakukan perceraian di luar persidangan
hanya dengan kesepakatan kedua belah pihak itu bisa saja terjadi dengan cara
talak ataupun khulu‟. Allah menyatakan bahwa ketaatan kepada pemerintah itu
sejajar dengan ketaatan kepadanya-Nya dan kepada Rasullullah. Dengan ini maka
tidak ada yang perlu diragukan lagi, bahwa perceraian itu harus didepan
persidangan. Kedua, untuk menimbulkan akibat hukum dari perkawinan maka
perkawinan itu harus di catatkan di KUA. Perceraian harus melalui persidangan,
jika tidak maka menurut hukum negara akibat hukum dari perceraian tersebut
belum dapat dilakukan ataupun diberikan, sedangkan menurut hukum Islam pada
saat kedua belah pihak menyatakan sepakat untuk bercerai dan menentukan
kesepakatan terkait akibat hukum perceraian, pada saat itu juga akibat perceraian
muncul. Untuk perkawinan sirri perceraian harus dilakukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Akibat hukum tersebut adalah status mereka akan
berubah menjadi janda dan duda, masa iddah, hak asuh anak, anak di nafkahi
pihak laki-laki, dibaginya harta bersama.
Saran yang dapat penulis berikan yaitu, Pertama hendaknya pemerintah
memberikan penyuluhan ke daerah yang masih sering terjadi nikah sirri maupun
perceraian sirri, terutama ke daerah terpencil yang masih mengikuti cara menikah
dan bercerai masyarakat terdahulu. Pemerintah bersama masyarakat harus
memberikan sosialisasi terkait keuntungan mendaftarkan perkawinan dan
melakukan perceraian di depan persidangan. Kedua, Hendaknya masyarakat atau
pasangan yang ingin bercerai mengikuti peraturan yang ada. Lagi pula pembuatan
Undang-Undang Perkawinan melibatkan para ulama jadi tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Undang-Undang Perkawinan juga ditujukan untuk
menengahi keraguan masyarakat terkait jatuhnya talak dan khulu‟ diluar
persidangan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]