dc.description.abstract | Kemajuan suatu negara tidak terlepas dari faktor pendidikan. Pendidikan
merupakan upaya mencerdaskan bangsa untuk mencetak sumber daya manusia
yang berkualitas. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan di Indonesia perlu
ditingkatkan. Adapun salah satu bidang ilmu yang dipelajari yaitu matematika.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Matematika memiliki peran penting
dalam pemecahan masalah. Tahap pemecahan masalah menurut Polya (1998)
meliputi memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan
rencana pemecahan masalah, dan meninjau kembali proses pemecahan masalah
yang dilakukan. Proses pemecahan masalah sangat memerlukan keterampilan
metakognisi yang baik. Keterampilan metakognisi menurut Schraw (dalam
Chatzipantelia, Grammatikopoulos, dan Gregoriadis, 2014) mencakup tiga
keterampilan penting meliputi perencanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana metakognisi siswa
dalam menyelesaikan masalah segiempat ditinjau Adversity Quotient meliputi
quitter, camper, dan climber. AQ adalah tingkat kecerdasan seseorang dalam
menghadapi masalah. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 8
SMP meliputi 1 siswa level AQ rendah (quitter), 2 siswa level AQ sedang (camper),
dan 2 siswa level AQ tinggi (climber). Objek dalam penelitian ini adalah
kemampuan metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah segiempat. Data
dalam penelitian ini diperoleh melalui tes, teknik think aloud, dan wawancara.
Analisis data dalam penelitian ini meliputi reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.
Keterampilan metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah segiempat
dengan menggunakan tahap pemecahan masalah Polya ditemukan bahwa siswa
ix
level AQ rendah (quitter) memiliki karakteristik proses metakognisi yang lengkap,
meliputi planning, monitoring, dan evaluating. Namun siswa level AQ rendah
(quitter) tidak memiliki kesadaran dalam menghubungkan data yang diketahui
dengan permasalahan yang dihadapi, memikirkan rencana penyelesaian masalah
yang sedang ia hadapi. Hal ini berdampak pada proses penyelesaian masalah
sehingga siswa level AQ rendah (quitter) tidak dapat melakukan langkah-langkah
pengerjaan yang tepat dan tidak mampu menyelesaikan soal dengan cara yang
berbeda. Ia cenderung menyerah ketika menentukan strategi pemecahan masalah.
Sehingga siswa level AQ rendah (quitter) kurang mampu menyelesiakan masalah
yang dihadapi dengan baik.
Sedangkan siswa dengan level camper dan climber dalam menyelesaikan
masalah matematika memiliki keterampilan metakognitif yang baik. Siswa dengan
level camper memiliki kesadaran untuk menyelesaikan masalah dengan
menjelaskan apa dan mengapa langkah tersebut digunakan. Siswa dalam tingkat ini
menyadari bahwa ia baru memiliki alasan yang benar terkait langkah-langkah yang
dipilihnya dalam menyelesaikan masalah. Namun siswa dengan level camper hanya
menggunakan strategi atau langkah penyelesaian yang diketahui atau pernah
digunakan sebelumnya
Sedangkan siswa dengan level climber memiliki kesadaran yang tinggi untuk
menyelesaikan masalah dan menyadari bahwa ia baru memiliki alasan yang benar
terkait langkah-langkah yang dipilihnya dalam menyelesaikan masalah. selain itu,
siswa dengan level climber berusaha mencari solusi alternatif selain yang telah ia
peroleh. Sehingga siswa dengan level climber yakin bahwa permasalahan yang ia
hadapi telah terselesaikan dengan semua alternatif jawaban yang ia peroleh.
Berdasarkan tingkatan metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah,
siswa dengan kategori AQ diperoleh bahwa semakin tinggi level AQ siswa maka
semakin tinggi pul tingkatan metakognisi siswa. Siswa level AQ rendah (quitter)
memiliki tingkatan paling rendah dalam menyelesaikan masalah yaitu pada
tingkatan tacit use. Siswa level AQ sedang (camper) memiliki tingkatan
metakognisi aware use. Sedangkan siswa level AQ tinggi (climber) memiliki
tingkatan metakognisi strategic use dan reflective use | en_US |