dc.description.abstract | Sengketa pertanahan kerap kali terjadi, salah satunya yang terjadi pada
tanah milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) yaitu tidak lepas dari status dan
kepemilikan atas tanah. Yang dalam hal ini nampak pada sengketa antara PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) dengan PT. Pura Barutama. Dimana status dan
kepemilikan atas tanah milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) yang berdasar
pada Grondkaart berada di atas tanah PT. Pura Barutama yang berdasar pada
Sertipikat Hak Guna Bangunan yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Kudus. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa terdapat dua bukti
kepemilikan hak atas tanah diatas sebidang tanah yang sama. Objek yang menjadi
sengketa, yaitu Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 18/Desa Jati Kulon pada
tanggal 24 Oktober 1991 atas nama pemegang hak yaitu PT. Pura Barutama
berkedudukan di Kudus tersebut ternyata berada di bidang tanah objek sengketa
(tumpang tindih) yang diakui oleh PT.KAI (Persero) adalah miliknya berdasarkan
Grondkaart (Peta Tanah) Nomor : Ag 461 tanggal 27 Juni 1935 seluas ± 15.034,2
M² van (dari) KM 48 + 400 tot (sampai) KM 49 + 100 Zijspoor Djati (Lintasan Rel
Kereta Api Bercabang Jati), Lijn (Lintas) Semarang – Joana, yang permasalahan
tersebut sampai di tahap kasasi yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 457/K/TUN/2017.
Terkait demikian, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut yaitu, bagaimana kedudukan Grondkaart setelah diberlakukannya Undang
– Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria
(UUPA) dan apa saja yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam
mengabulkan kasasi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor : 457/K/TUN/2017. Sedangkan, Tujuan yang hendak dicapai dalam
penulisan karya ilmiah dalam skripsi ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini meliputi tipe penelitian
hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undangundang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Pembahasan dalam skripsi ini yaitu yang pertama, menganalisa terkait
peraturan yang menegaskan kedudukan Grondkaart sebelum dan sesudah lahirnya
UUPA, dijelaskan pula Grondkaart sebagai bukti penguasaan PT. Kereta Api
Indonesia (Persero) dan Grondkaart sebagai dasar bukti kepemilikan tanah PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) dan pembahasan yang kedua, yaitu memaparkan
siapa saja yang menjadi subyek hukum dan apa yang menjadi obyek persengketaan
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 457/K/TUN/2017 dan apa saja alasan
hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 52/B/2017/PT.TUN SBY yang
membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha negara Semarang No.
034/6/2016/PTUN.SMG, kemudian memaparkan dasar – dasar gugatan yang
diajukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 457/K/TUN/2017 dan
menganalisa pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan kasasi PT. Kereta
Api Indonesia (Persero) dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor :
457/K/TUN/2017 yaitu bahwasanya tenggang waktu pengajuan gugatan yang
didaftarakan pada tanggal 14 Juni 2016 tidak kadaluwarsa, karena hal inilah yang
mengakibatkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 52/B/2017/PT.TUN
SBY membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha negara Semarang No.
034/6/2016/PTUN.SMG. Begitu juga dikarenakan, PT. Kereta Api Indonesia
(Persero) merupakan pengelola aset atas tanah yang termuat dalam keputusan objek
sengketa berdasarkan Grondkaart (Peta Tanah) Nomor Ag 461 tanggal 27 Juni
1935 seluas ± 15.034,2 M². Dan karena tidak dilakukannya penelitian dan
kecermatan dalam pengecekan riwayat tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Kudus yang menjadi obyek sengketa tersebut sehingga terjadilah
tumpang tindih kepemilikan atas tanah.
Kesimpulan dalam skripsi ini sebagai berikut. Pertama, Grondkaart
kedudukannya tidak diatur dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun
1960 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
hal ini yang mengakibatkan bahwa Grondkaart bukan merupakan bukti
kepemilikan tanah perkeretaapian yang kuat, namun dapat dijadikan sebagai dasar
kepemilikan atau alas hak atas tanah PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk
mendaftarkan tanahnya agar mendapatkan Sertipikat Hak Atas Tanah yang kuat.
Kedua, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 52/B/2017/PT.TUN SBY yang
membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha negara Semarang No.
034/6/2016/PTUN.SMG salah dalam menerapkan hukum dan Pertimbangan
Hukum Hakim dalam mengabulkan kasasi PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
berdasarkan Grondkaart (Peta Tanah) Nomor Ag 461 tanggal 27 Juni 1935 seluas
± 15.034,2 M² yang menjadi objek sengketa tersebut belum didaftarkan oleh PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus,
namun hak tersebut tidak menjadi hapus karena PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
masih memegang hak pakai atas tanah yang disengketakan sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 86 Tahun 1958 Jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 1959 Jo. Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor :
SK.8/Ka/1963.
Saran yang dapat penulis berikan dalam skripsi ini adalah Pertama, perlu
diadakannya suatu himbauan atau penyuluhan baik dari Instansi Pemerintahan
maupun Badan Pertanahan Nasional untuk memberitahukan kepada masyarakat
mengenai batas – batas tanah pemerintah, dan perlu dilakukan tindakan yang cermat
dari BPN dalam melakukan tindakan pengeluaran produk hukum yaitu Keputusan
Tata Usaha Negara berupa sertipikat hak atas tanah agar nantinya pengeluaran
sertipikat tidak melanggar peraturan dan tidak mengandung cacat yuridis. Kedua,
Perlu adanya pendaftaran tanah secara menyeluruh dengan Grondkaart sebagai alas
hak atas tanah PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam menyertipikatkan tanah –
tanah aset PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai jaminan kepastian hukum
berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok – Pokok Agraria, agar aset - aset yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia
(Persero) terjamin kepastian hukumnya. | en_US |