dc.description.abstract | Kasus tanah Jenggawah adalah kasus yang terjadi di 7 (tujuh) desa di
Kecamatan Jenggawah oleh karenanya kasus ini disebut dengan tanah Jenggawah.
Kasus ini berawal dari di-HGU-kannya tanah bekas kolonial Belanda maupun tanah
partikelir yang telah dikuasai oleh rakyat kepada PTP. XXVII (Sekarang PTPN X)
pada tahun 1969. Pada masa HGU tersebut kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
PTP. XXVII (Sekarang PTPN X) saat itu, sehingga petani mulai melakukan
pemberontakan dengan membentuk kelompok perjuangan I pada tahun 1976 dan
kelompok perjuangan II pada tahun 1993. Sehingga pada 1 Oktober 1998 dicapai
kesepakatan untuk melepas HGU atas tanah yang dikuasai oleh PTP. XXVII
(Sekarang PTPN X) untuk diberikan hak milik kepada para petani dan perjanjian
kerjasama dengan pola kemitraan antara para petani dan pihak PTP. XXVII
(Sekarang PTPN X) dengan luas tanah 3.117 Ha. Namun ada hal yang menarik
didalam sertipikat tanah tersebut, yaitu adanya diktum yang menyebut bahwa :
“Tanah yang diberikan tersebut dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun hanya boleh
dipindah tangankan kepada pihak lain. baik sebagian atau seluruhnya setelah
diperoleh izin dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jember” Diktum tersebut
menunjukan bahwa adanya pembatasan penguasaan tanah yang diberikan kepada
para petani, sehingga dapat menyebabkan suatu sengketa dikemudian hari yang
disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat akan arti dari diktum yang terdapat
dalam sertipikat tersebut.
Konflik ini berawal dari semua perusahaan-perusahaan milik asing
dinasionalisasikan termasuk pertanian maupun perkebunan tembakau, salah
satunya yaitu NV LMOD. Perusahaan-perusahaan asing tersebut kemudian diberi
HGU baru, kecuali tanah bekas perkebunan yang telah diduduki rakyat secara tetap
dan telah digarap secara terus-menerus, namun tanah tersebut tetap di-HGU-kan.
Padahal telah disebutkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria Nomor
11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Dan Syarat-Syarat Dalam Pemberian
Hak Guna Usaha Kepada Pengusaha-Pengusaha Swasta bahwa pembagian HGU
baru atas tanah bekas perkebunan, kecuali tanah yang telah diduduki secara tetap
oleh rakyat dan tanah yang digarap oleh rakyat secara terus-menerus. Namun, pada
akhirnya tanah tersebut tetap di-HGU-kan kepada PTP. XXVII (Sekarang PTP.
XXVII) dengan nomor sertipikat HGU : 32/HGB/BA/69 dan 15/HGU/DA/70.
Penyebab kedua konflik ini yaitu akan diperpanjangnya masa Hak Guna Usaha
(HGU) PTP. XXVII (Sekarang PTPN X) pada tahun 1993 dan 1994 dengan SK
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur Nomor
15/HGU/35.PJ/93 dengan luas 301.9783 Ha dan SK Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 74/HGU/BPN/1994 dengan
luas 2.815 Ha. Berangkat dari hal tersebut, rumusan penelitian ini adalah Apa akibat
hukum yang ditimbulkan dari perubahan status tanah Hak Guna Usaha menjadi
tanah hak milik di desa Ajung-Gayasan. Bagaimana kekuatan hukum tanah bekas
hak guna usaha yang telah berubah status haknya.
Metode pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini
adalah pendekatan masalah secara yuridis empiris dalam membahas permasalahan.
Penelitian hukum sosiologis atau empiris adalah metode penelitian yang digunakan
untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan
metode berpikir induktif serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses
induksi dan pengujian kebenaran yang kuat dari narasumber adalah fakta yang
mutakhir. Sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Pada analisis bahan hukum, penulisan skripsi ini menggunakan metode
analisis deduktif yaitu dengan cara melihat suatu permasalahan secara umumsampai
dengan pada hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud
yang sebenarnya.
Tinjauan pustaka yang ditulis dalam skripsi ini yaitu mengenai tanah, tanah
negara, Hak Guna Usaha, Hak Milik, Sertipikat tanah, kasus pertanahan,
pembaharuan hak, dan akibat hukum, serta kekuatan hukum dari sertipikat tanah.
Sedangkan di dalam pembahasan skripsi ini, penulis membahas mengenai
latar belakang perubahan ststus tanah bekas Hak Guna Usaha yang dikuasai oleh
PTP. XXVII (Sekarang PTPN X), pelepasan hak atas Hak Guna Usaha tersebut,
Permohonan hak milik atas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut, dan akibat
hukum dari berubahnya status tanah Hak Guna Usaha menjadi hak milik, serta
Kekuatan Hukum tanah yang sudah berubah status haknya (dari Hak Guna Usaha
menjaadi hak milik)
Kesimpulan dari penulisan ini, yakni : yang pertama, akibat hukum yang
ditimbulkan dari perubahan status ini adalah Tidak boleh dialihkan kepada orang
diluar kecamatan tanah itu berada, dan tanah harus dipergunakan untuk pertanian.
Sehingga penerima tanah tersebut tidak dapat menggunakan tanah tersebut
sepenuhnya dan sesuai keinginan. Namun Apabila penerima tanah redistrubusi
tersebut melanggar, maka peralihan hak atas tanah tersebut tidak dapat didaftarkan
kepada Kantor Pertanahan setempat. Jika tetap dipaksakan maka tanah tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum berupa sertipikat tanah sebagai alat bukti yang sah
kepemilikan atas tanah tersebut. Yang kedua, mengenai kekuatan hukum dari
perubahan status tanah tersebut yang wujudkan dengan sertipikat tanah. Sertipikat
tanah yang diterima oleh para petani Jenggawah merupakan sertipikat yang
memiliki kekuatan hukum dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah karena
diberikan kepada para petani sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan keputusan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak dapat dicabut kembali, kecuali ada
pembatalan dari pengadilan. Hal ini dikarenakan keputusan yang sah selain
memiliki keutana hukum formil dan hukum materiil akan melahirkan asas praduga
rechtmatig yang berarti setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau
administrasi negara dianggap sah menurut hukum. | en_US |