Keabsahan Jaminan Hak Tanggungan yang Dibuat Tanpa Persetujuan Mantan Istri (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 222K/PDT/2017)
Abstract
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur – kreditur lain. Hak Tanggungan dapat diagunkan sebagai jaminan dari pihak debitur dalam pemberian kredit oleh pihak bank (kreditur). Pada praktiknya, dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok kemudian diikuti dengan perjanjian jaminan kebendaan sebagai perjanjian tambahan (accesoir). Tidak menutup kemungkinan adanya sengketa terkait kewenangan dalam pemberian jaminan Hak Tanggungan oleh pasangan suami istri yang sudah bercerai sebagaimana dalam putusan Mahmakah Agung Nomor 222K/PDT/2017. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami aturan mengenai benda jaminan yang berasal dari harta bersama milik pasangan suami istri yang sudah bercerai, mengetahui dan memahami perbuatan suami yang sudah bercerai dengan istri menjaminkan harta bersama tanpa sepengetahuan mantan istri merupakan bentuk perbuatan melawan hukum, mengetahui dan memahami dasar pertimbangan hakim (Rasio decidendi) pada putusan Mahkamah Agung Nomor 222 K/Pdt/2017 telah sesuai dengan Hukum Perbankan di Indonesia.
Tinjauan Pustaka dalam skripsi ini berisi uraian atau penjelasan yang relevan terkait judul karya tulis ilmiah yang dibuat yang meliputi penjelasan terkait pengertian-pengertian, teori, konsep, dan lain sebagainya. Terkait demikian, pada skripsi ini tinjauan pustaka berisi penjelasan sebagaimana yang dimaksud meliputi pengertian keabsahan hukum, pengertian jaminan, aturan tentang jaminan, sifat perjanjian jaminan, bentuk jaminan, pengertian hak tanggungan, asas – asas hak tanggungan, aturan tentang hak tanggungan, subyek hak tanggungan, serta objek hak tanggungan.
Pembahasan dalam skripsi ini berisi jawaban, uraian, dan penjelasan terkait rumusan masalah sebagaimana yang dimaksud yaitu: 1) pengaturan mengenai benda jaminan yang berasal dari harta bersama milik pasangan suami istri yang sudah bercerai dalam Hukum Perbankan; 2) perbuatan suami yang sudah bercerai dengan istri menjaminkan harta bersama merupakan bentuk perbuatan melawan hukum. 3) Ratio Decidendi hakim pada putusan Mahkamah Agung Nomor 222 K/Pdt/2017 menurut hukum perbankan di Indonesia. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan yakni : Pertama, pemberian benda jaminan yang berasal dari harta bersama pasangan suami istri yang sudah bercerai tidak diatur dalam Hukum Perbankan, baik dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Kedua, Perbuatan mantan suami (Zainul arifin) dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 222 K/PDT/2017 dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum karena telah memenuhi unsur – unsur perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata yaitu tentang Perbuatan Melawan Hukum. Ketiga, Ratio Decidendi atau pertimbangan hukum hakim pada putusan Mahkamah Agung Nomor 222K/PDT/2017 dalam memutus perkara tidak sesuai dengan hukum perbankan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pemenuhan jaminan sebagai syarat kredit diatur dalam pasal 8 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pemenuhan jaminan tersebut dibingkai dalam suatu perjanjian jaminan kebendaan sehingga sah atau tidaknya perjanjian tersebut haruslah memenuhi ketentuan 1320 KUHPerdata. Perjanjian jaminan kebendaan antara Zainul Arifin dan Bank Danamon tidak memenuhi syarat sah perjanjian sesuai ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu sebab yang halal karena melanggar ketentuan pasal 36 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan dan pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Hak Tanggungan maka perjanjian jaminan tersebut batal demi hukum.
Adapun saran yang penulis berikan yaitu : Pertama, Pemerintah hendaknya membuat peraturan mengenai unifikasi perkreditan perbankan guna menjamin kepastian hukum bagi semua pihak. Hal ini dilakukan karena mengenai perkreditan perbankan berkaitan dengan peraturan perundang – undangan lainnya Peraturan perkreditan yang berlaku selama ini berpedoman pada berbagai ketentuan seperti buku ketiga KUHPerdata, Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta peraturan perundang – undangan lainnya yang pada umumnya menimbulkan terjadinya penerapan yang tidak konsisten dan pada saatnya kurang memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Kedua, Hendaknya nasabah yang akan membuat perjanjian kredit dengan pihak bank namun sudah bercerai dengan pasangannya dan ingin menggunakan harta bersama sebagai agunan yang akan diberikan ke bank, diharapkan untuk menyelesaikan pembagian harta bersama di Pengadilan yang berwenang. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi sengketa yang tidak diinginkan di masa yang akan datang. Ketiga, pihak bank hendaknya lebih teliti serta berhati - hati lagi dalam menerapkan prinsip kehati – hatian yang disebut dengan 5C guna menjalankan kegiatan usahanya salah satunya dalam hal pemberian agunan sebagai jaminan kredit oleh debitur kepada bank. Alangkah baiknya apabila bank meneliti lebih dalam kepemilikan agunan yang diberikan kepada pihak bank untuk menghindari adanya sengketa yang berpeluang muncul dimasa yang akan datang. Kepada majelis hakim Mahkamah Agung dalam memutus sengketa terkait jaminan hak tanggungan dalam hukum perbankan diharapkan agar lebih teliti lagi serta berhati – hati. Pada dasarnya hukum perbankan sendiri tidak terlepas dari hukum perjanjian sehingga tetap merujuk pada syarat sahnya perjanjian. Putusan Majelis hakim pada putusan Mahkamah Agung Nomor 222K/PDT/2017 hendaknya berpegang pada hukum yang ditentukan oleh pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sah perjanjian. Mengingat bahwasannya Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung meskipun Surat Edaran Mahkamah Agung juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]