GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Abstract
Budaya memberi hadih/upeti kepada seseorang adalah hal yang wajar. Namun
pada masa sekarang ini budaya memberi hadiah merupakan suatu modus untuk
melakukan tindak pidana korupsi. Seseorang dengan latar belakang kepentingan
memberikan sesuatu hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
agar tidak dijerat dengan pasal suap maka orang-orang menyiasatinya dengan
memberi hadiah, misalnya saja memberi hadiah berupa sejumlah uang Rp 20 juta
sebagai bentuk hadiah perkawinan. Contoh seperti ini merupakan bentuk suap
yang terselubung, seseorang yang menerima hadiah pasti akan timbul sikap
hutang budi yang kemudian dalam jangka pendek ataupun panjang dapat
mempengaruhi keputusan/kebijakan dari yang menerima hadiah. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji dalam suatu karya
ilmiah berupa skripsi dengan judul “GRATIFIKASI MENURUT UNDANGUNDANG
NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”.
Rumusan masalah penulisan skripsi ini meliputi 2 (dua) hal, yakni :
Pertama, Apa landasan yuridis pembuat undang-undang membuat/menambahkan
Pasal 12B dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana
sistem pembuktian tindak pidana gratifikasi, apakah tidak bertentangan dengan
Asas Praduga Tak Bersalah menurut KUHP.
Tujuan dari penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan
umum dan tujian khusus. Tujuan umum bersifat akademis. Sedangkan tujuan
khusus adalah untuk mengetahui dan memahami apa alasan yuridis pembuat
undang-undang membuat peraturan tentang gratifikasi dan mengetahui apakah
pembuktian terbalik dalam sistem pembuktian tindak pidana gratifikasi tidak
bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
xiii
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual (conceptual
approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum. Dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu yang dihadapi.
Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah mengingat korupsi di
Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan
keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakuakn dengan
cara yang luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi
harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem
pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Berdasarkan alasan pembenaran yuridis tersebut, maka pemerintah membuat
suatu kebijakan untuk mengatur gratifikasi secara tegas dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pada Pasal 12B dan Pasal 12C.
Saran dalam penyusunan skripsi ini adalah dalam rangka
menyempurnakan pengaturan tentang gratifikasi hendaknya Pemerintah pembuat
Undang-Undang hendaknya memperbaiki/memperbaharui lebih cermat
pengaturan gratifikasi yang dibuat secara sumir terutama tentang nilai nominal
gratifikasi dan aplikasi beban pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Agar beban
pembuktian terbalik benar-benar diterapkan dalam proses pembuktian tindak
pidana gratifikasi yang nilai nominalnya Rp 10 juta atau lebih.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]