Show simple item record

dc.contributor.advisorDani Widiyanti, Ikarini
dc.contributor.advisorKumalasari, Nuzulia
dc.contributor.authorAditya Ansory, Wachid
dc.date.accessioned2020-08-12T00:59:41Z
dc.date.available2020-08-12T00:59:41Z
dc.date.issued2019-05-08
dc.identifier.nim150710101097
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/100454
dc.description.abstractPesatnya laju arus perkembangan zaman dalam dekade terakhir ini semakin menyamarkan batas nonfisik antar negara, bahkan banyak kalangan beranggapan jika hal tersebut cenderung tanpa batas borderless state). Hal yang demikian tentu turut membawa dampak yang signifikan bagi setiap lini kehidupan. Dampak yang paling terlihat nyata adalah cepatnya mobilisasi informasi. Hal tersebut pulalah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya industri 4.0, dimana terdapat akulturasi antara sistem industri konvensional dengan teknologi digital. Perkembangan yang demikian, disebut-sebut sebagai salah satu konsekuensi nyata dari adanya globalisasi. Fakta itu pula yang terjadi di Indonesia, bahkan hampir seluruh kalangan masyarakat memburu informasi yang khususnya adalah pebisnis. Sebab, pada asumsinya siapa saja yang mampu menguasai informasi akan lebih berpeluang menjadi yang terdepan. Dalam mobilisasi informasi, internet menjadi hal yang mutlak dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab internet menjadi motor utama dalam menghubungkan satu subjek dengan subjek yang lain melalui dunia maya. Namun seiring dengan berkembangnya waktu, kemajuan zaman ini turut membawa dampak negatif yang tidak banyak disadari oleh masyarakat terutama di Indonesia. Sebab, selama ini vendor yang membantu masyarakat dalam menemukan informasi dapat mengangkut pendapatan yang sangat besaar atas kegiatan operasionalnya di Indonesia namun tidak dapat dikenai pajak. Mereka adalah perusahaan Over The Top atau perusahaan yang menyediakan layanan atau aplikasi berbasis internet, misalnya adalah Google, Amazon, WhatsApp, Instagram, YouTube, dan lain-lain. Hal yang demikian dapat terjadi dikarenakan oleh adanya kekosongan aturan mengenai perpajakan di Indonesia, sehingga mereka tidak tergolong sebagai subjek wajib pajak di Indonesia. Padahal di sisi lain perusahaan yang serupa dengan perusahaan Over The Top yaitu perusahaan dengan bentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) terdaftar resmi sebagai perusahaan yang legal sebagai subjek wajib pajak sekaligus Investor asing di Indonesia. Hal yang demikian seakan tidak mencerminkan amanat dari liberalisasi ekonomi yaitu prinsip Most Favoured Nation yang dianut hampir di seluruh negara di dunia. Maka berdasarkan latar belakang tersebut, penulis hendak mengkaji tentang penerapan prinsip Most Favoured Nation terhadap perusahaan Over The Top di Indonesia dalam skripsi dengan judul: Penerapan Prinsip Most Favoured Nation Pada Perusahaan Over The Top dalam Kegiatan Investasi di Indonesia.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFakultas Hukum Universitas Jemberen_US
dc.subjectMost Favoured Nationen_US
dc.titlePenerapan Prinsip Most Favoured Nation Pada Perusahaan Over the Top Dalam Kegiatan Investasi DI Indonesiaen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiIlmu Hukum
dc.identifier.kodeprodi0710101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record