KAJIAN YURIDIS KEKUATAN HUKUM EKSEKUTORIAL PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Abstract
Penggunaan lembaga arbitrase sebagai sarana untuk menyelesaikan
sengketa selain pengadilan negeri membuat beban dari suatu lembaga peradilan
resmi agak berkurang. Arbitrase diminati karena memiliki banyak keunggulan
dibandingkan dengan pengadilan diantaranya adalah sifat efektif dan efisien
dalam menyelesaikan suatu sengketa karena waktu yang diperlukan relatif
pendek, kerahasiaan, dan juga putusan yang dihasilkan oleh lembaga arbitrase
berkekuatan hukum tetap, mengikat dan final sama seperti putusan pengadilan.
Namun yang membedakan dengan putusan pengadilan adalah kekuatan
eksekutorial dari putusan arbitrase.
Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis tertarik untuk mengkaji dan
menganalisis lebih lanjut beberapa persoalan yang berhubungan dengan eksekusi
putusan arbitrase internasional dalam bentuk skripsi yang berjudul: Kajian
Yuridis Kekuatan Hukum Eksekutorial Putusan Arbitrase Internasional.
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini meliputi bagaimana
kekuatan hukum eksekutorial putusan arbitrase internasional dibandingkan
dengan putusan pengadilan negeri yang mempunyai kekuatan hukum tetap serta
sejauh mana kewenangan pengadilan negeri untuk melakukan pembatalan putusan
arbitrase internasional yang sedang dimintakan fiat eksekutorial. Juga bagaimana
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional sesuai Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini secara umum adalah
guna memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jember. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai
adalah untuk mengkaji dan menganalisa ketiga permasalahan diatas.
Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif,
dengan metode pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conseptual approach). Bahan hukum yang dipergunakan terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, disamping juga oleh bahan non
hukum. Dari keseluruhan bahan hukum dan non hukum tersebut kemudian dikajij
menggunakan metode analisis deduktif, selanjutnya ditarik suatu kesimpulan
xiii
dalam bentuk argumentasi dalam menjawab isu hukum tersebut dan memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan diatas diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada
dasarnya kekuatan hukum suatu putusan arbitrase internasional yang bersifat final,
mengikat dan berkekuatan hukum tetap sama dengan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Yang membedakan adalah suatu putusan arbitrase
internasional tidak memiliki kekuatan eksekutorial sebelum putusan tersebut
didaftarkan dan dimintakan fiat eksekutorial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berbeda dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
langsung melekat kekuatan eksekutorial. Selain itu Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memiliki kewenangan untuk memeriksa putusan pengadilan yang
dimintakan fiat eksekutorial namun hal ini terbatas pada pemeriksaan
administratif saja dan pengadilan tidak berhak untuk memeriksa isi putusan
arbitrase. Dan apabila ditemukan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 khususnya Pasal 70 yang mengatur tentang
pembatalan putusan arbitrase maka Pengadilan Negeri berhak untuk melakukan
pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut. Kemudian putusan arbitrase yang
telah diberikan fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baru dapat
eksekusi di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum yang berlaku di
Indonesia yang mengatur tentang eksekusi.
Paradigma buruk keberadaan lembaga arbitrase sebagai saingan lembaga
peradilan perlu dirubah karena fungsi lembaga arbitrase justru meringankan beban
lembaga peradilan. Perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 agar keberadaan lembaga arbitrase lebih kuat dan dapat
disejajarkan dengan lembaga peradilan yang ada serta putusan yang dikeluarkan
dapat disejajarkan dengan putusan pengadilan negeri yang melekat kekuatan
eksekutorial. Selain itu pengadilan negeri untuk tidak mudah melakukan
pembatalan dengan menggunakan alasan “ketertiban umum” agar tidak terjadi resi
prositutif atau juga disebut dengan asas pembalasan..
Collections
- UT-Faculty of Law [6243]