Show simple item record

dc.contributor.advisorPOESOKO, Herowati
dc.contributor.advisorHARIANTO, Aries
dc.contributor.authorNUGRAHADI, Christian
dc.date.accessioned2020-06-19T02:52:04Z
dc.date.available2020-06-19T02:52:04Z
dc.date.issued2019-07-23
dc.identifier.nimNIM160720201004
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/99249
dc.description.abstractSejalan dengan kedudukan bahasa Indonesia seperti yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda dan dinyatakan dalam UUD 1945, serta lebih khusus dipertegas lagi di dalam UU No. 24 Tahun 2009 semua produk hukum dan perundangundangan di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula halnya dengan akta perjanjian oleh pihak-pihak yang berkontrak melalui Notaris atau yang disebut akta notaris. Hanya saja, Bahasa Indonesia yang digunakan dalam akta notaris memiliki ciri khas atau karakteristik tersendiri yang tampak dalam komposisi, peristilahan, dan gaya pengungkapannya. Terlepas dari karakteristiknya, Bahasa Indonesia dalam akta notaris tetap terikat pada aturan atau kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia secara umum. Bahasa akta harus dapat menggambarkan bermacam-macam aktivitas para penghadap. Notaris harus dapat menjabarkan suatu kesepakatan di antara para pihak telah terjadi, mengingat kesepakatan yang tercapai di antara para pihak merupakan salah satu unsur essentialia dari perjanjian. Pasal 43 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa “Akta Notaris wajib dibuat dalam bahasa Indonesia”. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam pembuatan akta sebagaimana ditentukan pada ayat (1) tersebut diperkuat oleh ayat (2) yang menentukan bahwa “Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Ayat ini mengandung arti bahwa akta tetap dibuat dalam bahasa Indonesia, namun karena penghadap tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak faham maksud isi akta, maka notaris berkewajiban menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut dengan bahasa yang dimengerti dan difahami oleh penghadap, tanpa merubah struktur akta. Sebetulnya ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 43 UUJN tersebut sudah jelas tentang ketentuan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan akta, namun ternyata diperlemah dengan ketentuan ayat-ayat berikutnya yaitu ayat (3), (4), (5). Pasal 43 ayat (3) menyebutkan bahwa “Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing”. Ayat (3) ini menerangkan bahwa selain dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia, akta juga bisa dibuat dalam bahasa asing. Ketentuan ayat ini bertentangan sekali dengan ayat (1) yang mengharuskan atau mewajibkan notaris menggunakan bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya membuat akta. Berikutnya ayat (4) dan ayat (5) sifatnya melengkapi ayat (3) dalam hal penerjemahannya. Pasal 43 UUJN ini bersifat norma kabur (Vague Norm) yang menimbulkan multi tafsir, dimana seharusnya apabila Akta Notaris wajib menggunakan bahasa Indonesia, pembuat undang-undang tidak perlu memberikan celah dengan mempersilahkan Notaris membuat Akta dalam bahasa asing (selain bahasa Indonesia) atas permintaan para pihak. Akibat ketidak konsistenan ketentuan dalam Pasal 43 UUJN tersebut di atas menimbulkan kerancuan bagi Notaris dalam membuat suatu Akta Notaris yang seharusnya hanya wajib menggunakan Bahasa Indonesia. Permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini meliputi penelitian tentang Ratio Legis Pasal 43 UUJN memperbolehkan Akta Notaris dibuat dalam bahasa asing serta siapa yang memiliki otoritas menilai atau menafsirkan klausula akta yang dibuat dalam bahasa asing jika terjadi permasalahan hukum, berikut bagaimana pengaturan ke depan atas ketentuan penggunaan bahasa dalam pembuatan akta agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum sehingga metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum Normative yang dilakukan untuk mencari pemecahan masalah atas isu hukum dan permasalahan hukum yang ada. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Akta yang dibuat dalam bahasa asing sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN bila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata di atas, adalah bertentangan atau tidak memenuhi syarat yang keempat yaitu tentang suatu sebab yang terlarang menurut hukum. Dalam Hukum Perjanjian bahwa perjanjian yang melanggar salah satu syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Secara normatif Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta, dan Kutipan Akta yang dibuat dengan bahasa asing adalah batal demi hukum, karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang atau tidak adanya suatu sebab yang halal. Seharusnya pembuat Undang-Undang mengambil langkah tegas dan konkrit dengan melakukan penyesuaian ketentuan Pasal 43 ayat (4) dan (5) UU No. 30/2004 yang diterapkan pada UU Nomor 2 Tahun 2014, bukan justru memunculkan ketentuan baru pada Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2014 yang berbunyi “Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.” Menjawab permasalahan dalam tesis ini yang berhak menafsirkan makna isi akta yang terangkum dalam kata-kata (bahasa akta) bila terjadi permasalahan adalah hakim. Tugas Hakim adalah menafsirkan isi akta dengan menilai faktafakta yang ada.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectKepastian Hukumen_US
dc.subjectKewenangan Notarisen_US
dc.subjectAkta Notarisen_US
dc.titlePrinsip Kepastian Hukum Akta Notaris yang Dibuat dalam Bahasa Asingen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiMagister Kenotariatan
dc.identifier.kodeprodi0720201


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record