dc.description.abstract | Sejalan dengan kedudukan bahasa Indonesia seperti yang diikrarkan dalam
Sumpah Pemuda dan dinyatakan dalam UUD 1945, serta lebih khusus dipertegas
lagi di dalam UU No. 24 Tahun 2009 semua produk hukum dan perundangundangan di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula
halnya dengan akta perjanjian oleh pihak-pihak yang berkontrak melalui Notaris
atau yang disebut akta notaris. Hanya saja, Bahasa Indonesia yang digunakan
dalam akta notaris memiliki ciri khas atau karakteristik tersendiri yang tampak
dalam komposisi, peristilahan, dan gaya pengungkapannya. Terlepas dari
karakteristiknya, Bahasa Indonesia dalam akta notaris tetap terikat pada aturan
atau kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia secara umum.
Bahasa akta harus dapat menggambarkan bermacam-macam aktivitas para
penghadap. Notaris harus dapat menjabarkan suatu kesepakatan di antara para
pihak telah terjadi, mengingat kesepakatan yang tercapai di antara para pihak
merupakan salah satu unsur essentialia dari perjanjian.
Pasal 43 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa “Akta Notaris wajib dibuat
dalam bahasa Indonesia”. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam
pembuatan akta sebagaimana ditentukan pada ayat (1) tersebut diperkuat oleh ayat
(2) yang menentukan bahwa “Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang
digunakan dalam akta, notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu
dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Ayat ini mengandung arti bahwa
akta tetap dibuat dalam bahasa Indonesia, namun karena penghadap tidak
mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak faham maksud isi akta, maka notaris
berkewajiban menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut dengan bahasa
yang dimengerti dan difahami oleh penghadap, tanpa merubah struktur akta.
Sebetulnya ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 43 UUJN tersebut sudah jelas
tentang ketentuan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan
akta, namun ternyata diperlemah dengan ketentuan ayat-ayat berikutnya yaitu ayat
(3), (4), (5). Pasal 43 ayat (3) menyebutkan bahwa “Jika para pihak menghendaki,
akta dapat dibuat dalam bahasa asing”. Ayat (3) ini menerangkan bahwa selain
dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia, akta juga bisa dibuat dalam bahasa
asing. Ketentuan ayat ini bertentangan sekali dengan ayat (1) yang mengharuskan
atau mewajibkan notaris menggunakan bahasa Indonesia dalam menjalankan
tugasnya membuat akta. Berikutnya ayat (4) dan ayat (5) sifatnya melengkapi ayat
(3) dalam hal penerjemahannya.
Pasal 43 UUJN ini bersifat norma kabur (Vague Norm) yang menimbulkan
multi tafsir, dimana seharusnya apabila Akta Notaris wajib menggunakan bahasa
Indonesia, pembuat undang-undang tidak perlu memberikan celah dengan
mempersilahkan Notaris membuat Akta dalam bahasa asing (selain bahasa
Indonesia) atas permintaan para pihak. Akibat ketidak konsistenan ketentuan
dalam Pasal 43 UUJN tersebut di atas menimbulkan kerancuan bagi Notaris dalam
membuat suatu Akta Notaris yang seharusnya hanya wajib menggunakan Bahasa
Indonesia.
Permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini meliputi penelitian tentang
Ratio Legis Pasal 43 UUJN memperbolehkan Akta Notaris dibuat dalam bahasa
asing serta siapa yang memiliki otoritas menilai atau menafsirkan klausula akta
yang dibuat dalam bahasa asing jika terjadi permasalahan hukum, berikut
bagaimana pengaturan ke depan atas ketentuan penggunaan bahasa dalam
pembuatan akta agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum sehingga metode yang
digunakan adalah metode penelitian hukum Normative yang dilakukan untuk
mencari pemecahan masalah atas isu hukum dan permasalahan hukum yang ada.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach), dan pendekatan historis (historical approach). Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
Akta yang dibuat dalam bahasa asing sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat
(3) UUJN bila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320
KUH Perdata di atas, adalah bertentangan atau tidak memenuhi syarat yang
keempat yaitu tentang suatu sebab yang terlarang menurut hukum. Dalam Hukum
Perjanjian bahwa perjanjian yang melanggar salah satu syarat objektif, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Secara normatif Akta Notaris, Minuta Akta,
Salinan Akta, dan Kutipan Akta yang dibuat dengan bahasa asing adalah batal
demi hukum, karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang
terlarang atau tidak adanya suatu sebab yang halal.
Seharusnya pembuat Undang-Undang mengambil langkah tegas dan
konkrit dengan melakukan penyesuaian ketentuan Pasal 43 ayat (4) dan (5) UU
No. 30/2004 yang diterapkan pada UU Nomor 2 Tahun 2014, bukan justru
memunculkan ketentuan baru pada Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2014
yang berbunyi “Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa
asing.”
Menjawab permasalahan dalam tesis ini yang berhak menafsirkan makna
isi akta yang terangkum dalam kata-kata (bahasa akta) bila terjadi permasalahan
adalah hakim. Tugas Hakim adalah menafsirkan isi akta dengan menilai faktafakta yang ada. | en_US |