Show simple item record

dc.contributor.advisorOHOIWUTUN, Triana
dc.contributor.advisorTANUWIJAYA, Fanny
dc.contributor.authorMANAB, Abd.
dc.date.accessioned2020-03-27T01:15:59Z
dc.date.available2020-03-27T01:15:59Z
dc.date.issued2019-11-23
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/97423
dc.description.abstractKorupsi adalah merupakan masalah yang begitu serius yang terdapat di Indonesia. Korupsi ibarat suatu penyakit yang muncul secara silih berganti yang bisa membawa kehancuran pada segi perekonomian, politik, sosial budaya, maupun keamanan negara. Belakangan beberapa kasus menunjukkan bahwa korupsi melibatkan partai politik, namun belum ada partai politik yang disangkakan. Dalam tataran kebijakan anggaran terjadi banyak penyimpangan bahkan terindikasi menimbulkan kerugiaan negara atau perekonomian negara yang memenuhi rumusan norma tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang dibahas ada 2 (dua) pertama Apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan pengurus partai politik dapat dipertanggungjawabkan oleh partai politik? kedua bagaimana kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana korupsi ? Metode penulisan yang digunakan penulis adalah dengan yuridis normatif, pendekatan masalah yang digunakan adalah metode pendekatan secara Undang-Undang (Statute Approach), metode pendekatan konseptual (Conceptual Approach), metode pendekatan kasus (case approach), bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primeir dan sekunder.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui dan mengkaji pertanggungjawaban pidana partai politik yang dilakukan oleh pengurus dalam tindak pidana korupsi dan menganalisis kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana korupsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa partai politik sama dengan korporasi. Hal ini ditinjau dari aspek karakteristik dan konsep dari ketentuan perundangundangan yang ada yakni undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang tentang partai politik. Mengenai pertanggungjawaban yang bisa dimintakan kepada korporasi yang terbukti melakukan tindakan korupsi adalah mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kecuali pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Selain itu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi juga mengatur untuk menjatuhkan denda maksimal ditambah dengan sepertiganya. Sehingga berdasarkan konsep pertanggungjawaban tersebut dapat dijadikan pedoman oleh penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Akan tetapi dengan lahirnya doktrin strict liability maka pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada para pelakunya. Lalu untuk menarik pertanggungjawaban pidana kepada partai politik dapat dilakukan dengan pertanggungjawaban vicarious liability yang memungkinkan partai politik tersebut untuk harus bertanggungjawab atas perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh pengurus /anggota partai politik yang mendapatkan kuasa untuk menjalankan aktivitas kepartaiannya.Partai politik selaku badan hukum dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana korupsi, dengan mendasari pada formulasi norma yang diatur dalam perundang-undangan nasional serta mendasari pada ajaran tendensi sosiologis, yang mempertimbangkan tindakan/ dampak dari tindak pidana korupsi. Mendorong penegak hukum untuk dapat menjalankan formulasi norma pertanggungjawabkan atas tindak pidana korupsi terhadap partai politik. Dan mendorong DPR segera mengesahkan RKUHP yang telah mengatur doktrin vicarious lliability untuk mendukung xii penegakan hukum pada masa mendatang. Penelitian ini juga merekomendasikan untuk dapat melakukan pembaharuan formulasi pidana pokok terhadap partai politik, di luar pidana denda; Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberi saran bahwa belum adanya pengaturan yang jelas dalam KUHP mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi maka mengenai pengaturan partai politik sebagai badan hukum harus diperjelas dalam undang-undang partai politik harus dirumuskan secara tegas penggunaan teori vicarious liability dan teori identification sehingga dapat ditentukan batas tanggung jawab partai politik sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Konsep pembubaran partai politik yang melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurus/ anggota partai politik dalam menjalankan aktivitas kepartaian dari suatu partai politik, dapat diidentifikasikan melalui pembuktian yang dilakukan dalam ruang lingkup peradilan.Setelah melalui proses pembuktian dipersidangan dan terungkap fakta – fakta melalui alat bukti yang sah,apabila terdakwa dinyatakan bersalah dalam melakukan upayah hukum biasa, melaui tingkat banding dipengadilan tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung setelah putusan dianggap incraht dan memiliki kekuatan hukum tetap baru kemudian Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili tersebut merikomendasikan kepada Mahkamah Konstusi melalui pemerintah untuk mengusulkan pembubaran partai pilitik yang terlibat korupsi. Prosedur pembubaran partai politik tidak terlepas dengan adanya pihak pemohon, termohon dan permohonan. Pemohon dalam perkara pembubaran partai politik ditegaskan dalam Pasal 68 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi karena dalam pasal tersebut tidak mengatur tindak pidana korupsi yang melibatkan pengurus partai atau Partai politik. Untuk itu langkah yang perlu dilakukan adalah merevisi Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFAKULTAS HUKUMen_US
dc.subjectpertanggungjawaban pidanaen_US
dc.subjectpartai politiken_US
dc.subjecttindak pidana korupsi.en_US
dc.titlePertanggungjawaban Pidana Partai Politik yang Dilakukan oleh Korupsi dalam Tindak Pidana Korupsien_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiMagister Ilmu Hukum
dc.identifier.prodiNIM180720101036
dc.identifier.kodeprodi0720101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record