dc.description.abstract | Krisis finansial yang melanda belahan bumi Amerika Serikat di penghujung tahun
2007 akibat kasus supbrime mortgage memberikan efek domino bagi tata
perekonomian dunia. Adanya saling ketergantungan antar negara membuat efek dari
krisis ini menjalar ke belahan bumi Eropa, termasuk Yunani di dalamnya.
Keterlibatan Uni Eropa dalam meminjamkan dana ke perusahaan-perusahaan asuransi
Amerika Serikat yang pada akhirnya mengalami kredit macet akibat hancurnya sektor
bisinis properti, menjadi awal goyahnya perekonomian Yunani. Kosongnya cadangan
kas di bank-bank Uni Eropa akibat dana kredit macet membuat Yunani kesulitan
mendapatkan dana bantuan untuk menopang perekonomiannya yang sedang
mengalami defisit hingga 12,7%, angka yang sangat jauh dari target maksimal defisit
sebagai syarat keanggotaan Uni Eropa. Struktur perekonomian yang terbiasa
bergantung pada pinjaman luar negeri bukan pada sektor industri, membuat Yunani
sulit bangkit ketika krisis global menghantamnya. Yunani pun terdesak untuk segera
mengambil langkah kebijakan penyelamatan perekonomiannya dari status
default
(gagal bayar hutang). Untuk melakukan penyelamatan tersebut, Geeorge Papandreou
mengambil langkah kebijakan pengetatan anggaran yang dilaksanakan dalam kurun
waktu 2011-2015, dengan target defisit Yunani menurun hingga 3%. Dalam
pengambilan kebijakan ini, George Papandreou mempertimbangkan dua faktor yakni
internal setting dan eksternal setting. Tingkat GDP yang semakin menurun dari tahun
2007 dan hutang luar negeri yang membengkak (faktor internal) dan tuntutan negara
investor serta desakan troika (faktor eksternal) membuat George Papandreou
menjalankan kebijakan pengetatan anggaran. Berdasakan data OECD 2011, Yunani
telah mampu membuktikan perbaikan ekonominya dengan mencapai angka defisit
8,6% dari GDP dan diharapkan mampu ditekan lagi sampai angka 3% pada 2015
nanti. | en_US |