dc.description.abstract | Eksistensi kehidupan manusia sangat tergantung pada lingkungan, lingkungan hidup telah menyediakan cuma-cuma berbagai kebutuhan bagi manusia yang merupakan syarat mutlak agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Masalah lingkungan pada hakekatnya adalah masalah ekologi manusia, masalah lingkungan timbul sebagai akibat adanya pencemaran terhadap lingkungan. Faktor penyebab utamanya adalah adanya unsur banyak kesalahan kelalaian yang dilakukan oleh perusahaan atau badan hukum yang beroperasi yang meliputi adanya unsur kesengajaan dan kelalaian penggunaan hukum lingkungan hidup melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tertuang dalam Pasal 116 UUPPLH. Berbagai bentuk kejahatan korporasi yang tidak kalah berbahaya ialah kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi, dalam penegakan hukum lingkungan terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan korporasi memang tak mudah dalam mempertanggungjawabkan korporasi sebagai subjek hukum, dalam pertanggungjawaban korporasi dalam kejahatan lingkungan yang menjadi pokok pembahasan dalam perkara dengan nomor register putusan No.1405K/Pid.Sus/2013, yaitu PT KERAWANG PRIMA SEJAHTERA (PT.KPSS) yang bergerak dalam industri Logam, baja dan almunium ekspor impor dan perdagangan hasil pruduksi, didalam pruduksinya PT KPSS menghasilkan limbah Aero Slag dari peleburan besi dan baja, Limbah bottom Ash dan Fly ash yang didapat dari hasil pembakaran batu bara di power plan. Pertanggungjawaban korporasi di bebankan kepada Direkturnya/kepala bagian secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dumping limbah tanpa ijin dan korporasi lepas dari jerat hukum pertanggungjawaban, dan dalam pertanggungjawaban pidana kejahatan lingkungan juga yang dilakukan oleh PT .KALISTA ALAM yang bergerak dalam bidang perkebunan, perindustrian, Leveransir dan pengankutan dalam usaha kelapa sawit, dalam pelanggaranya PT. KA telah membuka lahan dengan cara membakar yang dilakukan secara berlanjut untuk memperluas tanam kelapa sawit ,dalam putusan No 131/Pid.B/2013/PN.MBO dan secara sah melakukan kejahatan lingkungan yang hanya di hukum korporasi tanpa ada pertanggungjawaban dari deriktur kepala bagian. Hal ini sangat sulit korporasi untuk dibebankan pertanggungjawabannya sebagai subjek hukum kedepan dikarnakan dalam pasal 116 dalam penerapanya adanya kekaburan norma dalam sistem pengaturan subjek hukum korporasi dalam pertanggungjawabanya. Berdasarkan urain diatas permasalahan yang dibahas ada 2 (dua) yaitu, pertama Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Korporasi sebagai subjek hukum terhadap tindak pidana kejahatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?, kedua Bagaimana formulasi Korporasi sebagai subjek hukum dalam prospektif pertanggung jawaban pidana dalam kejahatan lingkungan hidup ? Metode penulisan yang digunakan penulis adalah dengan Yuridis Normatif, pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (statue approch), pendekatan konseptual (conseptual approch) dan pendekatan kasus (case approch), bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum dalam kejahatan pengelolan dan perlindungan lingkungan hidup, bagaimana pencegahanya terhadap aspek kejahatan lingkungan hidup khususnya terhadap perbuatan pertanggungjawabanya pidana yang pelakunya adalah korporasi sebagai subjek hukum serta menentukan formulasi porspektif dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum dalam kejahatan lingkungan hidup.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa yang pertama toeri vicarius liability yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana memberikan beban pengganti dari peratanggungjawabanya dalam toeri vicarius liability dan teori identifikas yang dianut dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi atau badan hukum sebagai subjek dalam UUPPLH didalam perkara nomor No.1405K/Pid.Sus/2013 yaitu PT.KPSS dan No 131/Pid.B/2013/PN.MBO terjadi kekeburan norma dalam penerapan dan prakteknya akibatnya korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan beban pertanggunjawabanya dilimpahkan ke pengurus, selanjutnya yang kedua teori yang dipakai agregasi ialah pertanggungjawaban mutlak yang harus mempertanggungjawabkan segala tindakan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan semua turunanya yang harus di pertanggungjawabkan dan ditegaskan mengedapankan asas legalitas yang dimaksud setiap tindakan pidana harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan Undang -Undang dan didalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan setiap perbuatan pidana maka sistem pertanggungjawabanya yang sudah di atur maka mutlak pertanggungjawabanya, dan penegak hukum bisa perpegangan dengan dikeluarkan Perma no 13 Tahun 2016 bisa menjadi acuan kedepan dalam penerapan pertanggungjawaban oleh karena itu sangat diperlukan formulasi yang ideal terhadap pengaturan subjek pertanggungjawaban hukum yang akan datang telah tercantum dalam RKUHP dengan menentukan aturan mengenai sistem pertanggungjawaban korporasi tidak ada tebang pilih dalam penerapanya.
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran antara lain Hukum positif saat ini masih mempunyai keterbatasan dalam pengaturan dan penerapan subjek hukum dalam pertanggungjawaban kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi,dan harus disempurnakan dengan terminologi korporasi secara tegas untuk menggantikan istilah badan hukum dalam Pasal 116 tentang penanganan tindak pidana korporasi dan dikuatkan dengan keluar surat edaran Mahkamah Agung PERMA 13 Tahun 2016 maka diharapkan bagi aparat penegak hukum lebih mampu menjerat Korporasi yang melakukan tindak pidana khususnya pidana kejahatan lingkungan hidup, sehingga efek jera untuk korporasi dan meminimalisir kerusakan lingkungan hidup serta kerugian Negara akibat kejahatan korporasi.dan perlu segera dibahas RKUHP agar dalam pertanggungjawaban pidana untuk meningkatkan kemampuan hukum pidana dalam penegakan kejahatan lingkungan hidup di Indonesia. | en_US |