dc.description.abstract | Perbuatan atau tindakan hukum berupa pendaftaran tanah yang berasal dari
pemindahan hak yang berupa jual beli harus didahului dengan pembuatan akta
jual beli tanah dan disahkan oleh seorang pejabat yang disebut PPAT. Melihat
peran dari PPAT dalam melaksanakan tugasnya tersebut berdasarkan pada PP No.
37 Tahun 1998, dalam hal ini PPAT merupakan pejabat umum yang membantu
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan sah atau
tidaknya akta pemindahan hak atas tanah atau dengan kata lain PPAT dapat
dikatakan sebagai pejabat yang melaksanakan urusan tugas pemerintahan yang
berupa rangkaian proses pendaftaran hak atas tanah, karena tanpa adanya akta dari
PPAT maka tanah yang bersangkutan itu tidak dapat didaftarkan pada Kantor
Pertanahan Kabupaten atau Kota. Dari uraian tersebut di atas dalam tulisan ini
dapatlah diangkat permasalahan, apakah PPAT merupakan Pejabat Tata Usaha
Negara, dan akta PPAT dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha
Negara.
Permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini antara lain Apakah
Perbuatan Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk dalam kualifikasi sebagai
Pejabat Tata Usaha Negara, Apakah rasio decidendi putusan pngadilan yang ada
memberikan alasan pembenar terhadap kualifikasi akta PPAT dalam kategori
sebagai keputusan tata usaha negara dan Bagaimana konsep pengaturan ke depan
agar Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal ini Camat memiliki kepastian status
hukum sebagai Legal Standing dalam sengketa Tata Usaha Negara. Metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu yuridis normatif.
Pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konseptual dan pendekatan kasus.
Hasil dari hasil penelitian tesis ini yaitu (1) Kualifikasi Perbuatan Pejabat Tata
Usaha Negara sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah bukan termasuk pada
perbuatan pejabat tata usaha negar. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam
menerbitkan akta hak atas tanah atas hanya berdasarakan atas kepentingan atau
inisiasi kedua belah pihak, bukan atas kewenangan yang ada pada dirinya.
Berbeda dengan pejabat TUN dalam menerbitkan KTUN atas inisiasi dan
wewenang pada dirinya, karena itu PPAT dalam menerbitkan akta tanah bukan
merupakan pejabat publik yang memiliki legal standing dalam sengketa TUN.
Kenyataan demikian diperkuat dengan Putusan Nomor
22/PUT.TUN/1993/PTUN.SBY. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kualifikasi PPAT dalam hal ini perbuatannya bukan merupakan perbuatan pejabat
tata usaha negara. (2) Kualifikasi Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Berdasarkan
Ratio Decidendi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini Putusan
Nomor Putusan Nomor 34 PK/TUN/2001 dan Putusan Nomor
22/PUT.TUN/1993/PTUN.SBY dan adalah akta tersbut tidak dapat dijadikan
obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut dikarenakan bahwa
Akta PPAT bukan suatu akta yang dilahirkan berdasarkan perbuatan hukum
publik akan tetapi di lahirkan berdasarkan hukum perdata, sehingga akta PPAT
tidak dapat digolongkan sebagai suatu beschikking yang bersifat sepihak dan bersifat hukum publik sehingga akta PPAT bukan merupakan suatu beschikking,
karenanya akta PPAT tidak dapat dijadikan obyek sengketa di peradilan tata usaha
negara sekalipun PPAT berfungsi pada saat itu sebagai pejabat tata usaha negara.
Andaikan dikatakan bahwa perbuatan mengesahkan akta tersebut merupakan
produk hukum yang telah dituangkan dalam bentuk beschikking, akan tetapi
beschikking yang demikian tetap sebagai perbuatan hukum perdata yang tidak
bersifat sepihak dimana PPAT tidak bisa memaksakan para pihak yang terkait
dalam keputusannya, maka disinilah letak karakter hukum perdatanya akta yang
dibuat oleh PPAT, hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 2 Huruf a UU
Nomor 5 Tahun 1986. (3) Pengaturan ke Depan Legal Standing Pejabat Pembuat
Akta Tanah dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah harus berorientasi pada
tujuan hukum yang mencerminkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Konsep
semacam ini harus tercermin dalam ragam regulasi yang mengatur tentang PPAT
sehingga dapat diperoleh kepastian tentang status hukum PPAT berikut
kewenangannya sebagai tenaga bantu BPN.
Rekomendasi penulis dalam penelitian tesis ini adalah Atas pertimbangan
dan kepastian konsistensi hukum seharusya dalam kerangka ius konstitiendum
perlu diatur secara berkepastian bahwa produk PPAT sebagai pejabat tata usaha
negara, akta yg dibuat seharusnya linier dengan otoritas pejabat yang membuat.
Dan Wujud dari saran berdasarkan angka satu diatas, patut ditindaklanjuti dengan
melakukan revisi atau penambahan ketentuan menyangkut peraturan terhadap
PPAT terkait dengan penegasan akan keberadaan PPAT sebagai pejabat TUN dan
produk akta yang dibuat. | en_US |