dc.description.abstract | Salah satu komponen penting dalam perkawinan adalah maskawin yang
dalam bahasa agama Islam disebut mahar. Mahar atau mas kawin adalah hak
wanita, Pada suatu perkawinan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam
perkawinan yang dapat menyebabkan suatu perkawinan menjadi tidak sah apabila
tidak dipenuhi, meskipun terjadi perbedaan pendapat antar ulama mengenai
pengkatagorian mahar merupakan rukun dan syarat perkawinan tetapi dalam
prakteknya secara umum mahar adalah suatu kewajiban suami kepada istri yang
harus dibayarkan.Pada prakteknya dimasyarakat penggunaan mahar yang sering
digunakan adalah mahar yang diucapkan dalam akad nikah atau biasa disebut
dengan mahar musamma, sedangkan mahar mitsil (yang tidak diucapkan dalam
sighat akad) jarang digunakan. Guna menghindari kesukaran dalam melaksanakan
kewajiban mahar dan dalam waktu yang sama juga menghindari kemungkinan
sengketa dibelakang hari, seyogyanya mahar itu sudah dinyatakan secara jelas
ketika akad nikah dilakukan mengenai apa wujudnya, berapa kadarnya, dibayar
tunai atau bertangguh. Terkait dengan itu menyebutkan mahar dalam akad nikah
itu hukumnya sunah. dengan tidak menyebutkan mahar dalam akad nikah rentan
terjadi sengketa atau konflik dikemudian hari. Berdasarkan beberapa uraian
tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisa secara yuridis perkawinan yang
dilakukan tanpa disertai adanya pengucapan mahar dalam skripsi yang berjudul
“TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN TANPA UCAPAN MAHAR (MAHAR
MITSIL) MENURUT HUKUM ISLAM”.Rumusan masalah dalam skripsi ini
terdiri dari 2 (dua) permasalahan yaitu pertama apa perkawinan dapat dikatakan
sah ketika mahar tidak diucapkan dan yang kedua bagaimana pembayaran mahar
yang tidak diucapkan jika terjadi perceraian.
Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan tipe penelitian yang
bersifat yuridis normative (legal research) dengan menggunakan 2 (dua) model
pendekatan masalah yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Sedangkan sumber bahan
hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan non hukum. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.
Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri atas dokumen-dokumen tidak resmi.
Bahan non hukum merupakan bahan-bahan yang didapat dari internet.
Adapun Kesimpulan yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah Mahar
bukanlah termasuk rukun dan syarat perkawinan, kendati demikian pemberian
mahar merupakan suatu kewajiban bagi calon suami terhadap calon istri. Tidak
diucapkannya mahar dalam akad nikah (penggunaan mahar mitsil) tidak
menjadikan batal atau tidak sahnya suatu akad. Pembayaran mahar itu hendaknya
dilakukan secara langsung dan kontan kecuali ada kesepakatan antara calon suami
dengan calon istri untung menangguhkan mahar dan dibayar dalam jangka waktu
yang ditentukan karena mahar merupakan kewajiban suami dan hak istri. Mahar
bukanlah tujuan dari perkawinan, melainkan hanya symbol ikatan cinta kasih.
Perkawinan dengan mahar yang ringan bisa membawa keberkahan dalam rumah
tangga. Pembayaran mahar mitsil sama dengan mahar musamma meskipun tidak
xiii
diucapkan dalam akad nikah pembayarannya hendaknya dilakukan secara
langsung dan tunai setelah akad nikah selesai dilakukan. Karena pengucapan
mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan sehingga tidak
berdampak pada keabsahan perkawinannya. Perkawinan yang dilakukan tanpa
ucapan mahar tetap menjadikan suatu perkawinan sah. Bagaimana pun mahar
adalah hutang yang harus dibayarkan. Kewajiban suami dalam membayarkan
mahar apabila terjadi perceraian pada saat sudah terjadi percampuran antara
suami-istri adalah suami wajib membayarkan seluruh mahar yang telah ditentukan
jumlahnya dan merupakan hak istri secara penuh. Sedangkan pembayaran mahar
bila terjadi perceraian pada saat belum terjadi percampuran antara suami-istri
maka suami wajib membayarkan mahar separuh dari mahar yang telah ditetapkan
jumlahnya. Namun dalam kasus tertentu, mahar boleh tidak dibayarkan asalkan
istri yang dinikahi tersebut belum berkumpul dengan suami atau belum terjadi
percampuran antara suami istri dan belum menentukan jumlah maharnya. Seorang
suami dapat dibebaskan dari kewajiban membayar mahar apabila istrinya
mengikhlaskan suaminya tidak memberikan mahar sesuai dengan jumlah yang
telah disepakati.
Saran yang dapat saya sumbangkan dalam skripsi ini adalah calon suami
hendaknya lebih mengetahui arti penting kewajiban pembayaran mahar untuk
calon istrinya, bukan berarti arti kata ‘pemberian” mahar diartikan sebagai bentuk
pembelian calon istri tapi lebih kepada hadiah kepada calon istri karena dengan
sukarela akan mengabdikan dirinya dan hidup bersama suaminya. Pemberian
mahar hendaknya dibicarakan dengan calon istrinya dengan memperhatikan
kriteria utama mahar yang paling ringan, sederhana dan bermanfaat, sehingga
tidak memberatkan calon suami dan tidak meremehkan calon istri dan mahar
tersebut pembayarannya dapat dilakukan secara langsung dan tunai, agar tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari. | en_US |