Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Kejahatan Cybersquatting
Abstract
Era globalisasi sekarang ini telah menyebabkan terjadinya perkembangan di berbagai sektor, salah satunya ialah sektor teknologi. perkembangan yang paling signifikan dalam dunia teknologi ialah hadirnya komputer yang kemudian melahirkan suatu hal baru yang dikenal dengan internet. Berjalannya waktu internet telah menjadi suatu kebutuhan pokok yang sangat digemari bagi seluruh masyarakat di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya internet seperti pedang bermata dua, di satu sisi memberikan dampak positif dan di sisi lain menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya internet ialah munculnya kejahatan-kejahatan baru yang berkaitan dengan internet dan menyebabkan persoalan-persoalan hukum baru, seperti timbulnya kejahatan cybersquatting. Cybersquatting adalah suatu kejahatan yang berkaitan dengan nama domain. Nama domain adalah alamat yang digunakan dalam internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. Pelaku kejahatan cybersquatting memanfaatkan nama domain terkenal yang kemudian membuat duplikat dan mendaftarkannya untuk dijual kembali kepada yang berhak atas nama domain tersebut dengan harga yang lebih tinggi. Hukum positif Indonesia saat ini masih belum mengatur secara khusus mengenai kejahatan cybersquatting, hal itu mengakibatkan pelaku kejahatan cybersquatting sulit untuk dibebankan pertanggungjawaban secara pidana dikarenakan tidak diaturnya dalam hukum positif Indonesia. Apabila hukum positif yang ada saat ini dipaksakan untuk diterapkan pada kejahatan cybersquatting maka hal tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang dibahas ada 2 (dua) yaitu: pertama, apakah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diterapkan dalam sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku cybersquatting?, kedua, bagaimanakah kebijakan formulasi yang ideal dalam pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan cybersquatting?
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan historis (historial approach). Bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan cybersquatting dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta untuk menentukan kebijakan formulasi yang ideal dalam pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan cybersquatting.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa: Pertama. Teori kesalahan yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana memberikan beban pada korban untuk membuktikan bahwa pelaku melakukan perbuatan yang melawan hukum. Teori tersebut pada dasarnya telah dianut oleh Undang-Undang ITE. Terkait pertanggungjawaban pelaku dalam kejahatan cybersquatting berlaku adanya kesalahan. Akan tetapi, pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ITE saat ini tidak dapat diterapkan terhadap kejahatan cybersquatting. Hal tersebut dikarenakan belum diatur nya kejahatan cybersquatting dalam Undang-Undang ITE dan berakibat pelaku kejahatan cybersquatting tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Apabila Undang-Undang ITE diterapkan terhadap pelaku kejahatan cybersquatting jelas akan bertentang dengan asas legalitas. Indonesia dapat juga mencontoh Amerika Serikat dalam hal pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan cybersquatting. Jika Amerika hanya memberikan pertanggungjawaban berupa denda, maka Indonesia dapat menambahkan pidana penjara terhadap pelaku untuk memberikan efek jera dan rasa takut bagi para pelaku selanjutnya. Kedua. Teori anomie yang dikemukan oleh durkheim menyatakan bahwa suatu kejahatan itu muncul karena tidak ada norma yang mengaturnya. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu kebijakan formulasi terhadap kejahatan cybersquatting. Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana yang ideal terhadap pelaku kejahatan cybersquatting di masa yang akan datang telah tercantum dalam RKUHP Tahun 2015 dan RKUHP Tahun 2017 melalui proses kriminalisasi terhadap kejahatan cybersquatting dengan menentukan aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku kejahatn cybersquatting. Seiring dengan proses kriminalisasi terhadap kejahatan cybersquatting, maka tidak terdapat pelanggaran asas legalitas dalam penerapannya kelak.
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain: Pertama. Hukum positif Indonesia saat ini masih mempunyai keterbatasan dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahtan cybersquatting dikarenakan Undang-Undang ITE yang ada saat ini tidak memadai untuk diaplikasikan terhadap kejahatan cybersquatting, jadi diperlukan suatu pembaharuan terhadap Undang-Undang ITE. Kedua. Perlu segera dibahas dan disahkan mengenai RKUHP supaya pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku kejahatan cybersquatting dan untuk meningkatkan kemampuan hukum pidana dalam pemberantasan kejahatan cybersquatting di Indonesia.
Collections
- MT-Science of Law [334]