dc.description.abstract | Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas penulis mengidentifikasikan beberapa rumusan masalah antara lain : (1) Apakah pertanggungjawaban pidana terhadap kelompok terorganisasi dapat dipersamakan dengan bentuk pertanggungjawaban pidana pada penyertaan dan (2) Bagaimanakah kriteria kelompok terorganisasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Tipe penelitian yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah tipe penelitian yuridis normatif. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka metodologi dalam penelitian tesis ini menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Dalam pengumpulan bahan hukum ini penulis menggunakan metode atau cara dengan mengklasifikasikan, mengkategorisasikan dan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang dipakai dalam mengaalisis dan memecahkan permasalahan.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa : Pertama, berangkat dari karakteristk kejahatan terorganisasi yang telah diuraikan sebelumnya, dimana kejahatan terorganisasi dibentuk dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dalam kurun waktu tertentu dan terstruktur sehingga pertanggungjawaban pidana terhadap kelompok terorganisasi pada tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dipersamakan dengan pertanggungjawaban pidana penyertaan. Hal demikian diperkuat bahwa tindak pidana penyertaan yang dilakukan oleh beberapa orang yang bergabung dalam mewujudkan delik dilakukan pada saat itu dan selesai saat itu juga serta tidak terstruktur sebagaimana kejahatan terorganisasi yang dibentuk dengan struktur jaringan yang kompleks dan jelas. Perbedaan kedua sifat kejahatan tersebut juga diperlihatkan dalam UU TPPO bahwa dalam hal kelompok terorganisasi melakukan tindak pidana perdagangan orang maka ancaman pidana yaitu sama sebagaimana dimaksud Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 16 UU TPPO menunjukkan adanya unsur pemberat pidana yang dibebankan kepada pelaku
kelompok terorganisasi menjadikan karakteristik kejahatan terorganisasi menunjukkan berbedanya dalam sifat tindak pidana penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Kedua, Kriteria kelompok terorganisasi dalam hal ini perlu dikelompokkan, yaitu antara lain: 1. Korporasi yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang bekerja sama melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan korporasi yang berbentuk badan hukum maupun badan hukum; 2. Korporasi yang berbentuk badan hukum maupun badan hukum bekerja sama dengan orang perorangan di bawah stuktur kejahatan terorganisasi; 3. Orang perorangan bekerja sama dengan orang perorangan lebih dari tiga orang dengan struktur organisasi kriminal; 4. Korporasi yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang bekerja sama dengan organisasi kejahatan (nasional maupun internsional). Keempat kriteria tersebut tidak menutup kemungkinan semakin memunculkan bentuk kriteria pelaku yang baru mengingat siapapun bisa didikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang selama orang tersebut terbukti melakukan tindak pidana yang dimaksud baik sendiri maupun bersama-sama yang dilakukan dalam hubungannya dengan kejahatan terorganisasi.
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain: Seyogianya pembentuk undang-undang segera menerapkan kehendak United Nations Convention Transnational Organized Crime (UNTOC) terhadap perundang-undangan Indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk segera memberikan kepastian hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorganisasi kedepannya berdasarkan kriteria-kriteria perbuatan untuk dapat menjangkau para pelaku agar tidak terus menimbulkan kesenjangan dalam penerapan hukumnya. Dalam hal ini, perlu juga dipikirkan mengenai keberlakuan kriteria perbuatan secara fungsional-kontekstual dapat digunakan sebagai pijakan yang menekankan turut serta perbuatan yang dilakukan oleh kelompok terorganisasi serta seyogianya pembentuk undang-undang segera merumuskan kriteria kelompok terorganisasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam suatu pasal tersendiri dan diikuti dengan penjelasan yang memadai sehingga proses penegakan hukum dalam hal mempertangguungjawabkan kelompok terorganisasi dapat dilaksanakan dengan semangat pemberantasan bentuk kejahatan yang diamanatkan oleh Konvensi. | en_US |