dc.description.abstract | Anak adalah tunas dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
mereka menyimpan potensi sekaligus memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa
depan. Maraknya kejahatan yang dilakukan oleh anak di indonesia, menurut
Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), anak-anak yang berada di
lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Sedangkan Indonesia hanya
memiliki 16 lapas anak, artinya di setiap kabupaten/kota belum tentu memiliki lapas
anak.
Indonesia telah memiliki regulasi dalam melindungi, mensejahterakan dan
memenuhi hak-hak anak diantaranya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 nahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak. Namun tampaknya belum membawa perubahan yang
signifikan bagi nasib dari anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Dalam tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dilakukan
dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti undangundang,
peraturan-peraturan serta literatur yang berisi konsep teoritis yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dari tesis ini penulis menyimpulkan bahwasanya sistem pemidanaan anak
yang berlaku di Indonesia belum memberikan perlindungan terhadap anak sebagai
pelaku. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah anak yang mendekam didalam Lembaga
Penjara hal ini tidak sesuai apa yang diamanatkan didalam UU nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berdasarkan asas perampasan
kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan,
jumlah Penjara Anak yang tidak sesuai sehingga anak yang dipenjara ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan orang dewasa juga tidak sesuai dengan pasal 3 huruf b
UU nomor 11 tahun 2012 bahwasanya anak yang ditahan dipisahkan dari orang
dewasa dan memperoleh pendidikan selama anak dipenjara. Didalam UU nomor 11
tahun 2012 pasal 81 anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sedangkan dalam The Beijing Of Rules
menentukan bahwasanya pemidaan terhadap anak harus melihat kepentingan tebaik
bagi anak. Dan berdasarkan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Padang Nomor.
20Pid/Sus-Anak/2015/PN.Pdg sistem pemidanaan anak di indonesia belum
memenuhi keadilan substantif karena pidana penjara digunakan sebagai upaya
terakhir dan dari persidangan itulah hakim hendaknya menggali sedalam-dalamnya
agar ditemukan nilai keadilan substantif di masyarakat. Sehingga dalam memutus
suatu perkara selain berdasarkan keadilan prosedural juga melihat keadilan
substantif dam melihat kepentingan terbaik bagi anak, karena keadilan bukan
semata-mata persoalan yuridis saja tetapi faktor-faktor lain yang melatarbelakangi
anak melakukan tindak pidana baik secara pendidikan, sosial, ekonomi dan keluarga. | en_US |