Show simple item record

dc.contributor.advisorEkatjahjana, Widodo
dc.contributor.advisorJayus
dc.contributor.authorNAIL, MUHAMMAD HOIRU
dc.date.accessioned2015-12-10T10:37:02Z
dc.date.available2015-12-10T10:37:02Z
dc.date.issued2015-12-10
dc.identifier.nim130720101005
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/67278
dc.description.abstractMahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Dengan konsekuensi itu juga MK berfungsi sebagai penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution). Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman juga diberikan kewenangan untuk melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undangundang terhadap undang-undang di Indonesia. Rumusan masalah dalam tulisan tesis ini terdapat tiga rumusan masalah. Pertama Apakah MK telah melakukan Pergeseran Fungsi Yudikatif dengan Putusan Mahkamah Konstuisi Nomor 102/PUU-VII/2009, kedua Apakah MK telah melakukan Perubahan Konstitusi terhadap Pasal 24 C Ayat (1) dengan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, dan ketiga Apakah MA melalui Perma Nomor 1 Tahun 2011 telah melakukan pergeseran fungsi Yudikatif. Metodolologi pendekatan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) Pendekatan kasus (case approach), serta pendekatan pendekatan asas hukum atau disebut juga dengan (legal principle approach.) Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan wakil presiden dialam pasal 28 dan Pasal 111 yang isinya memberikan pengaturan kepada warga Negara Indonesia yang bisa ikut dalam memilih dalam pemilu presiden di sebutkan bahwa selain yang sudah memenuhi syarat untuk bisa menjadi pemilih juga diatur bahwa warga negara tersebut terdaftar di Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan. Namun terdapat warga Negara yang bernama Refly Harun dan Maheswara Prabandono tidak terdaftar dalam Daftar pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan meskipun keduanya memenuhi syarat untuk ikut memilih, sehingga kedua mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan pasal 28 dan Pasal 111 konstitusional bersyarat dengan melakukan penambahan arti yang berisi pengaturan dengan memperbolehkan KTP dan Paspor untuk ikut memilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman melakukan kewenangan pengaturan yang sebenarnya itu bukan kewenangannya, kewenangan tersebut sebenarnya ada pada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi dalam dalam melaksanakan kewenagannya melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut menurut pasal 24C Ayat (1) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 telah meniadaan sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang semula sifat putusannya bersifat final menjadi tidak final lagi. Oleh karenanya perubahan konstitusi telah berubah terhadap ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Mahkamah Agung yang memperoleh kewenangan melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang melalui amanah Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materill telah merubah ketentuan tersebut dan melebarkan kewenangannya menjadi tidak hanya pengujian undang-undang, namun frasa yang digunakan adalah peraturan tingkat lebih tinggi. Untuk mengkaji hal tersebut akan dibahas secara mendalam dengan beberapa teori yang berkembang dalam ilmu hukum. Pembahasan ini akan dibahas secara komprehensif guna menemukan formulasi hukum yang tepat dalam menjalankan ketatanegaraan, yang nantinya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung kedepannya bisa menjalankan kewenangannya berdasarkan cabang kekuasaan yang ada pada lembanganya. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa MK dan MA selaku pelaksana Kekuasaan kehakiman telah melakukan pergeseran fungsi yudikatif dengan Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 dan MA melalui Perma Nomor 1 Tahun 2011. Saran penulis adalah kedepan pelaku kekuasaan kehakiman tetap berada di cabang kekuasaan kehakiman serta perlu perubahan Konstitusi yang kelima terhadap Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 terkait pengujian undangundang yang tidak lagi bersifat final.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectKEKUASAAN KEHAKIMANen_US
dc.titlePERGESERAN FUNGSI YUDIKATIF DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record