Show simple item record

dc.contributor.advisorSetyawan, Fendi
dc.contributor.advisorFahamsyah, Ermanto
dc.contributor.authorSANTOSO, EKO HERI
dc.date.accessioned2015-12-07T07:40:08Z
dc.date.available2015-12-07T07:40:08Z
dc.date.issued2015-12-07
dc.identifier.nim120720101018
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/66929
dc.description.abstractrah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian bertujuan untuk mewujudkan industri yang maju, mandiri, berdaya saing; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan; mewujudkan persaingan yang sehat serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan yang merugikan masyarakat; mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia; dan memperkuat dan memperkokoh ketahanan nasional. Tahun 2002 program swasembada gula dirilis dan ditargetkan untuk tercapai pada tahun 2007, kemudian ditunda hingga 2008 dan diperpanjang hingga 2009 dan kembali dicanangkan tercapai tahun 2014. RPJMN Tahun 2015-2019 kembali mencanangkan target swasembada gula nasional yang tercapai di tahun 2018. SK Menteri hanya membolehkan impor dilakukan 3 (tiga) bulan sebelum atau 3 (tiga) bulan setelah musim giling raya untuk menyetabilkan pasokan gula dalam negeri, namun kerapkali saat panen dan giling raya, impor gula justeru dibuka sehingga harga gula pekebun jatuh. Sistem dana talangan yang dicanangkan juga tidak mampu lagi dipenuhi pemberi talangan (pabrik gula/swasta) karena HPP gula yang ditentukan terlalu tinggi, akibatnya gula pekebun dibeli dengan harga di bawah ketentuan SK menteri tersebut. Gula rafinasi yang harusnya untuk sektor industri, namun akibat ulah produsen “nakal”, gula rafinasi justru merembes (dijual) bebas ke pasar/konsumen. Perdagangan gula di Indonesia justeru menjadi bagian kejahatan kartel gula karena membatasi pelaku usaha yang dibolehkan melakukan impor raw sugar. Penyempitan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian, kesulitan memperoleh pupuk, pekebun yang masih belum memahami jenis bibit dan teknik penanaman tebu, rendemen tebu yang masih rendah, produktifitas pengolahan yang rendah akibat jumlah dan usia mesin pabrik yang sedikit dan semakin tua turut memperparah kondisi. Faktor-faktor hukum dan nonhukum ini menjadi tantangan bagi setiap era pemerintahan. Perlu kerjasama lembaga menteri yang terkait, bukan hanya tugas Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan saja, namun juga menteri yang terkait seperti Menteri Kehutanan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, lembaga perbankan, asosiasi pekebun tebu, sarana prasarana serta peran pemerintah daerah dan lembaga masyarakat untuk membantu mengawasi program pemerintah. Masyarakat juga ikut berperan terhadap terwujudnya swasembada gula. Masyarakat tersebut mulai dari pekebun, pelaku usaha/industri gula dan konsumen gula. Permasalahan dan tujuan penelitian yang diambil antara lain membangun konsepsi regulasi terkait bidang tataniaga gula yang dapat melindungi kepentingan pekebun, industri dan konsumen gula di Indonesia; membangun konsepsi penataan lembaga pengelolaan tataniaga gula yang dapat mendorong terciptanya swasembada gula di Indonesia; dan membangun konsepsi pengaturan peran masyarakat dalam peraturan perundang-undangan yang mendorong terciptanya swasembada gula di Indonesia. Metodologi penelitian yang xii digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif (legal research). Pendekatan masalah yang digunakan dalam penyusunan tesis ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparativ approach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Kesimpulan dari tesis ini bahwa regulasi yang melindungi kepentingan pekebun, industri dan konsumen gula di Indonesia yang menciptakan swasembada gula nasional dilakukan dengan koordinasi yang baik antara pembuat peraturan perundang-undangan sehingga ketidak sinergian antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya yang menyebabkan tidak tercapainya swasembada, baik di sektor on farm maupun off farm dapat dihindari; penataan lembaga dalam tataniaga gula yang dapat mendorong terciptanya swasembada gula di Indonesia dilakukan dengan pembentukan lembaga yang khusus menangani pangan mulai on farm hingga off farm sehingga tidak terjadi tumpang tindih tugas dan terhindar dari ego sektoral disertai koordinasi yang baik antar kementerian terkait; dan pengaturan peran masyarakat dalam peraturan perundang-undangan yang mendorong terciptanya swasembada gula di Indonesia dilakukan dengan mencantumkan peran masyarakat tersebut dalam peraturan perundang-undangan tidak hanya di sektor on farm, namun juga di sektor off farm sehingga peran masyarakat dapat dilindungi secara hukum. Saran ditujukan kepada lembaga legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya tidak membuat peraturan yang terintegrasi dan tidak kontraproduktif. Kepada pemerintah daerah dan lembaga/menteri terkait hendaknya mempermudah pengalokasian lahan tebu dan memberi perhatian pada sektor hulu. Dewan Gula Indonesia perlu dibentuk kembali. Kepada Pemerintah hendaknya lebih mendorong pengaturan peran serta masyarakat.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectregulasi tataniaga gulaen_US
dc.titlePENGATURAN TATANIAGA GULA NASIONAL DALAM MENCIPTAKAN SWASEMBADA GULAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record