dc.contributor.author | Terorisme, atau aksi teror yang marak akhir-akhir ini membuat keprihatinan banyak pihak, baik masyarakat nasional dan internasional. Aksi-aksi teror menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat, dan juga menurunkan wibawa pemerintah sebagai badan yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman di masyarakat. Begitu besarnya dampak yang ditimbulkan, sehingga terorisme bukan lagi dianggap sebagai bentuk kejahatan kekerasan biasa, melainkan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan manusia (crimes against peace and security of mankind). Untuk menciptakan keamanan yang kondusif, Indonesia melakukan kerjasama bilateral dengan Amerika Serikat untuk memerangi segala bentuk terorisme. Dimana Amerika Serikat telah memiliki strategi yang efektif untuk mengatasi masalah ini, yang berkaitan di bidang keamanan khususnya dalam memerangi terorisme. Kerjasama bilateral yang telah dilakukan Indonesia dengan Amerika serikat yaitu dibentuknya USINDO pasca peristiwa 11 September 2001 disepakatinya program Indonesia-United States Security Dialog (IUSSD), bantuan anti terorisme (Anti Terorisme Assistance/ATA). Selain itu Amerika Serikat memberikan bantuan dalam bidang penegakan supremasi hukum, intelejen, kepolisian, bantuan keuangan baik itu bantuan sosial maupun bagi militer dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme dan juga mengintensifkan bantuannya ke sekolah - sekolah pendidikan Islam yang terdapat di Indonesia. Di luar semua upaya yang dilakuan untuk meningkatkan kerjasama bilateral kedua negara, Indonesia sebaiknya menyingkapi ancaman vii terorisme secara proporsional. Yaitu menciptakan keamanan bagi kepentingan Indonesia harus lebih diutamakan daripada kepentingan hegemonis Amerika Serikat. Sebab kedudukan kita dalam memperjuangkan kepentingan nasional sebenarnya lebih kuat daripada kedudukan dan kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara. | |
dc.date.accessioned | 2013-12-07T04:28:40Z | |
dc.date.available | 2013-12-07T04:28:40Z | |
dc.date.issued | 2013-12-07 | |
dc.identifier.nim | NIM060910101163 | |
dc.identifier.uri | http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/5970 | |
dc.description.abstract | Sudan merupakan negara dengan wilayah terbesar di Afrika Barat. Negara ini dalam
sejarahnya telah mengalami konflik internal yang mengancam integrasi bangsa.
Konflik yang terjadi antara pihak pemberontak Sudan People Liberation Movement
(SPLM) di Selatan dengan Pemerintah Sudan telah menyulut perang saudara dan
membawa Sudan kedalam konflik berkepanjangan. Gejolak konflik kembali terjadi
saat konflik bergejolak di Darfur, Sudan Barat. Konflik yang terjadi di Sudan
membuat Presiden Bashir mengalami krisis legitimasi. Pada tahun 2005, pihak SPLM
dan Pemerintah Sudan dibawah komando Presiden Al-Bashir, mengadakan
pertemuan di Naivasha, Kenya, untuk membahas perdamaian antara kedua pihak.
Perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan bersama yakni Comprehensive Peace
Agreement (CPA) yang mengakhiri konflik antara Sudan Utara dan Selatan. Dalam
CPA terdapat dua poin utama yakni Pemilu dan Referendum bagi Sudan Selatan.
Pemilu kali ini merupakan kesempatan bagi Presiden Bashir untuk mampu
memperbaiki legitimasiya yang sempat melemah. Oleh karena itulah, Presiden Bashir
serta NCP berupaya untuk menggunakan berbagai cara agar dapat terpilih kembali
pada pemilu kali ini. Pemilu yang digelar mulai tanggal 11-15 April 2010 pada
akhirnya dimenangkan oleh Presiden Bashir serta NCP ditingkatan parlemen Sudan. | en_US |
dc.language.iso | other | en_US |
dc.relation.ispartofseries | 060910101163; | |
dc.subject | Pemilu, Presiden Bashir, Legitimasi. | en_US |
dc.title | Implikasi Pemilu Sudan Tahun 2010 terhadap Legitimasi Pemerintahan Omar Hassan Al-Bashir | en_US |
dc.type | Other | en_US |