Show simple item record

dc.contributor.authorANDHI NUGRAHA HADIWINATA
dc.date.accessioned2013-12-04T04:37:13Z
dc.date.available2013-12-04T04:37:13Z
dc.date.issued2013-12-04
dc.identifier.nimNIM080710191092
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/3687
dc.description.abstractLatar belakang skripsi ini adalah maraknya tindak pidana korupsi dikalangan masyarakat atas dan menengah kebawah yang pada dasarnya tindak pidana korupsi sudah menjadi kejahatan internasional dan merupakan kejahatan yang fenomenal dimana tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Penjatuhan pidana terhadap pelaku perkara tindak pidana korupsi telah diatur dalam UUPTK. Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perkara korupsi diharapkan lebih berhati-hati dan mempunyai pertimbangan yang matang dikarenakan kejahatan korupsi bersifat extra ordinary crime. Hakim harus mempertimbangkan tepat tidaknya mengambil putusan pidana bersyarat pada tindak pidana korupsi secara berlanjut karena hal tersebut tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi serta tidak bisa memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Permasalahan yang diangkat adalah, pertama apakah putusan Pengadilan Tinggi memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri dalam penjatuhan pidana bersyarat sudah sesuai dengan ketentuan pemidanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 kedua, apa yang seyogyanya menjadi kebijakan hukum pidana terkait penjatuhan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Tujuan penulisan ialah untuk menganalisis putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Nganjuk dalam menjatuhkan pidana bersyarat menurut ketentuan pemidanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan untuk mengupayakan kebijakan hukum pidana yang akan datang terkait penjatuhan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif, pendekatan masalah menggunakan pendekatan Undang-undang (statue approach), Studi Kasus (case studi) dan Pendekatan Konsep (conceptual approach). Untuk itu sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. xiii Kesimpulan dari penulis ini merupakan inti jawaban dari apa yang telah diuraikan dalam pembahasan. Pertama, putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 79/Pid.Sus/2010/PT.SBY yang memperbaiki penjatuhan pidana bersyarat/percobaan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (;ima puluh juta rupiah) dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor: 389/Pid.Sus/2010/PN.Ngjk menjadi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) pada prinsipnya sudah sesuai dengan ketentuan pemidanaan UUPTPK karena tidak menyalahi ketentuan batas minimum umum. Demikian pula penjatuhan secara komulatif 2 (dua) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan denda juga tidak bertentangan dengan penerapan sistem komulatif alternatif pada Pasal 3 UUPTPK. Kedua, Kebijakan hukum pidana yang akan datang terkait penjatuhan pidana bersyarat selain harus mempertimbangkan aspek rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana korupsi juga harus mempertimbangkan prevensi khusus dan prevensi umum. Adapun alternatif kebijakan penjatuhan pidana bersyarat yang tepat menurut penulis yaitu pertama, pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila terdakwa melanggar peraturan UUPTPK selain dalam Pasal 2 (dua) dan Pasal 3 (tiga) UUPTPK; kedua, penjatuhan pidana bersyarat harus dijatuhkan bersamaan dengan kerja sosial, sekurang-kurangnya yaitu ½ dari pidana yang dijatuhkan, serta dilakukan pengawasan yang ketat terhadap terpidana tindak pidana korupsi; ketiga, penjatuhan pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila terpidana sudah mengganti kerugian negara atas tindak pidana korupsi yang ditimbulkannya; keempat, penjatuhan pidana bersyarat tidak dijatuhkan pada residivis pelaku tindak pidana korupsi. Adapun saran dari penulis yaitu, pertama agar sejalan dengan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime, seyogyanya pemidanaan dijatuhkan semaksimal mungkin demi mencapai keadilan bagi masyarakat dan agar tidak bertentangan dengan ketentuan UUPTPK. Kedua Kebijakan formulasi penjatuhan pidana bersyarat seyogyanya pemidanaan dijatuhkan semaksimal mungkin demi mencapai prevensi khusus dan prevensi umum dari tujuan pemidanaan.en_US
dc.relation.ispartofseries080710191092;
dc.subjectPEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERLANJUTen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERLANJUT (Putusan Nomor : 79/Pid.Sus/2011/PT.SBY)en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record