KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN PENUNTUTAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Abstract
Kebijakan formulasi ketentuan penuntutan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan kebijakan dasar pembentuk UndangUndang
(DPR) bersama pemerintah dalam bidang penuntutan yang akan, sedang
dan telah berlaku yang bersumber dari nilai-nilai hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat guna mencapai tujuan hukum acara pidana, yakni
mencari sampai mendapatkan kebenaran materiil. Karena itu, proses pembahasan
RUU Hukum Acara Pidana oleh DPR sarat dengan pelbagai kepentingan dan
mengundang banyak perdebatan. Perdebatan seputar kebijakan formulasi
ketentuan penuntutan dalam KUHAP akan tercermin dalam kebijakan aplikasi dan
kebijakan eksekusinya.
Sementara itu, diskusi perihal kebijakan formulasi ketentuan penuntutan
dalam KUHAP telah mengemukakan banyak kelemahan, yang mana diduga telah
mengakibatkan terjadinya peradilan sesat sehingga merugikan pencari keadilan
(justitiabelen). Oleh karenanya, tesis ini akan mengupas kelemahan kebijakan
formulasi ketentuan penuntutan dalam KUHAP. Pertama, masalah konsepsi
prapenuntutan. Kedua, keterbatasan kewenangan jaksa dalam hal mempelajari dan
meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang dibuat oleh penyidik. Ketiga,
kurang integrasinya fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan dalam bingkai
Sistem Peradilan Pidana. Keempat, penuntutan hanya didasarkan pada kebenaran
formal atas berkas perkara hasil penyidikan, sehingga dalam melaksanakan fungsi
penuntutan penuntut umum seringkali terjebak pada kebenaran formal. Kelima,
kebijakan penuntutan hanya dapat dilakukan berdasarkan pada alasan teknis
yuridis. Dan keenam, upaya penuntutan kembali atas perkara tindak pidana
tergantung pada inisiatif penyidik untuk mengajukan alat bukti baru yang
mendukung pasal sangkaan sebagaimana diterapkan penyidik terhadap perkara
dimaksud.
Dengan demikian, sudah seharusnya dilakukan peninjauan kembali atas
kebijakan formulasi ketentuan penuntutan dalam KUHAP, agar penuntut umum
dalam melaksanakan fungsi penuntutan dapat menemukan kebenaran materiil;
sebagaimana telah menjadi tujuan hukum acara pidana. Untuk kepentingan
tersebut, maka pembahasan kebijakan formulasi ketentuan penuntutan dalam
KUHAP dikomparasikan dengan HIR dan draft RUU Hukum Acara Pidana Tahun
1979, guna mengungkap ratio legis ditetapkannya kebijakan formulasi ketentuan
penuntutan dalam KUHAP dan ratio ontologis lahirnya KUHAP. Selanjutnya,
juga dibandingkan dengan draft RUU Hukum Acara Pidana Tahun 2010, guna
memahami konsep-konsep hukum menyangkut kebijakan formulasi ketentuan penuntutan. Pertama, koordinasi dan konsultasi pelaksanaan penyidikan sejak
diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Kedua, jaksa
berwenang melakukan penyidikan tambahan meskipun penyidik telah
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Ketiga, fungsi
penuntutan berdasarkan pada asas dominus litis, sehingga kebijakan penuntutan
bukan hanya didasarkan pada alasan teknis yuridis tetapi juga dimungkinkan
karena alasan kebijakan yang merujuk pada asas oportunitas. Dan keempat,
adanya lembaga hakim komisaris yang mempunyai kewenangan untuk menilai
apakah suatu perkara layak atau tidak layak guna dilakukan penuntutan ke
pengadilan.
Hasil kajian diajukan sebagai preskripsi guna menjawab permasalahan (isu
hukum) berkaitan dengan kebijakan formulasi ketentuan penuntutan dalam
KUHAP. Disamping itu, hasil kajian dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi
kepada pembentuk Undang-Undang (DPR) dalam rangka amandemen KUHAP
maupun bagi penegak hukum (jaksa) sebagai pelaksana kebijakan formulasi
ketentuan penuntutan dalam KUHAP
Collections
- MT-Science of Law [334]