FUNGSI PROSPEKTUS PENAWARAN WARALABA DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA
Abstract
Perkembangan hukum perjanjian saat ini diwarnai oleh semakin tipisnya
tabir pemisah antara dua system hukum besar yaitu common law dan civil law.
Dinamika hubungan bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis antar Negara telah
membawa dampak perkembangan hukum kontrak perjanjian yang mengadopsi
asas-asas universal yang dikembangkan dalam praktek kebiasaan. Kebutuhan
utama para pelaku bisnis waralaba adalah perlindungan terhadap hak-hak para
pihak. Di AS ada Uniform Franchising Offering Circular (UFOC) yang disahkan
oleh International Franchising Association. Substansi UFOC ini kemudian
menjadi acuan Franchise Disclosure Document di Indonesia yang di tuangkan
dalam bentuk Prospektus penawaran waralaba. Franchisor harus menjaga
keseimbangan antara transparansi dan kerahasiaan. Keseimbangan yang dimaksud
disini adalah keseimbangan pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan
kewajiban yang berlangsung secara fair.
Menilik latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menelaah secara
hukum dari segi peraturan-peraturan hukumnya mengenai pemaknaan Franchise
Disclosure Document dalam peraturan tentang waralaba di Indonesia, perbedaan
dan persamaan antara UFOC dengan Prospektus Penawaran Waralaba, dan asasasas
yang terkandung dalam Prospektus Penawaran Waralaba serta fungsi
prospektus penawaran waralaba. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian
hukum yuridis normative. Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), Pendekatan Historis
(historical approach), dan Pendekatan Konseptual (conceptual approach), serta
pendekatan perbandingan tentang substansi antara Franchise Disclosure
Document /UFOC dengan Prospektus Penawaran Waralaba di Indonesia. Analisa
bahan hukum yang didasarkan pada metode Preskriptif analitis.
Perlindungan terhadap tata cara pemberian confidential information dan
know how (dalam Franchise Disclosure Document) dari pihak franchisor kepada
franchisee diatur dalam perjanjian franchisenya. Hal-hal yang perlu dilakukan
secara yuridis dalam rangka tertib hukum franchise adalah pendaftaran franchise,
prinsip disclosure, asosiasi franchise, kode etik franchise, dan guidelines tentang
kontrak franchise. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 mengatur bahwa
prospectus penawaran waralaba merupakan kewajiban pemberi waralaba terhadap
penerima waralaba serta mewajibkan pemberi waralaba untuk mendaftarkan
prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan
penerima waralaba. Pendaftaran prospektus penawaran waralaba tersebut
dilakukan untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).
Ketentuan denda dan sanksi administratif berlaku bagi pewaralaba yang tidak
mendaftarkan prospektusnya.
Pemerintah Amerika Serikat mengharuskan pemberi waralaba
menyiapkan suatu Disclosure statement (Uniform franchise Offering Circular
atau Prospectus) yang diberikan oleh franchisor kepada Franchisee sebelum ia
memutuskan penandatanganan perjanjian waralaba. FOC berisi fakta-fakta
finansial maupun non finansial berkaitan dengan franchisor dan para Franchisee.
FOC menyajikan informasi tentang topic-topik disclosure statement. Apa yang diterapkan di Amerika Serikat tersebut, juga dicoba diterapkan di Indonesia.
Unsur-unsur Perbedaan antara UFOC dengan Prospektus Penawaran Waralaba
adalah mengenai : Unsur Substansi (informasi / klausul), Persyaratan Penerbitan
Franchise Disclosure Document, dan Perijinan Franchise Disclosure Document.
Substansi dari Franchise disclosure act adalah perlunya transparansi dari pihak
franchisor. Sama halnya dengan prospektus penawaran waralaba, FOC merupakan
disclosure document yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee sebelum
penandatanganan perjanjian waralaba.
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus)
dari pihak-pihak. Antara pemberi waralaba dan penerima waralaba harus ada
kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk penandatanganan Letter of
Intent (LOI) atau Memorandum of Understanding (MOU) atau heads of
Agreement. Pada dasarnya bisnis dengan pola Franchise sangat mengandalkan ciri
khas dari suatu produk barang/ jasa. Sehingga apabila unsur kerahasiaan dari
trade secret know how tidak dijaga dengan baik hal ini akan merugikan franchisor
karena mengakibatkan ciri khas dari Franchise yang ada diketahui oleh pihak
ketiga. Disclosure agreement adalah kesempatan untuk membuka data dan fakta
mengenai perusahaan franchisor yang berkaitan dengan pengambilan keputusan
calon franchisee untuk membeli hak waralaba. Selanjutnya franchisee
berkewajiban menjaga kode etik/ kerahasiaan HAKI atau ciri khas usaha yang
diberikan franchisor.
Asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan
berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam
beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Proporsionalitas pembagian hak
dan kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual,
baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan
kontrak. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan/
kesamaan hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban
diantara para pihak. Klausul-klausul yang mengandung asas proporsionalitas
dalam franchise agreement terdapat pada bagian : Klausul fee dan royalty,
Klausul pengawasan, Klausul penggunaan bahan atau produk franchisor, Klausul
daerah pemasaran eksklusif, dan Klausul kerahasiaan.
Franchise disclosure document sangat penting dalam suatu perjanjian
waralaba maka perlu dibentuk suatu aturan khusus atau menyempurnakan
peraturan waralaba yang mengatur tentang franchise disclosure document atau
prospectus penawaran waralaba di Indonesia yang mengadaptasi substansi UFOC
agar tercipta keseragaman dalam hal substansi dan menjadi dasar hukum yang
kuat sehingga akan mendukung perkembangan waralaba di Indonesia. Waralaba
berkembang sangat pesat maka perlu dibentuk suatu UU khusus yang mengatur
tentang waralaba. Di Indonesia pengaturan bisnis ini hanya lewat PP dan SK
Menperindag RI. Agar waralaba di Indonesia ke depan berkembang seperti
diharapkan perlu segera ada UU yang mengaturnya. Penulis menyarankan bahwa
sebaiknya pemerintah melalui menteri perdagangan memfasilitasi pendirian
Badan Mediasi Waralaba di Indonesia dan atau Badan Arbitrase Waralaba
Indonesia, karena hingga kini belum ada lembaga yang secara khusus menangani
sengketa bisnis waralaba.
Collections
- MT-Science of Law [334]