dc.description.abstract | Kebijakan hukum pidana saat ini (ius constitutum) mengatur para pihak
yang dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana ialah terpidana
atau ahli warisnya sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan: “Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Akan tetapi hal
tersebut dalam praktek, Mahkamah Agung RI menerima dan mengakui Jaksa
Penuntut Umum sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan peninjauan
kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dalam perkara pidan selain terpidana atau ahli warisnya. Hal ini terdapat
dalam beberapa kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung RI, seperti
antara lain: kasus Muchtar Pakpahan yang diputus melalui putusan Peninjauan
Kembali nomor 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996, kasus Ram Gulumal
alias V. Ram atau yang dikenal dengan kasus The Gandhi Memorial School yang
diputus melalui peninjauan kembali nomor 3 PK/Pid/2001, tanggal 2 Agustus
2001, kasus Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih yang diputus melalui
putusan peninjauan kembali nomor 15 PK/Pid/2006, tanggal 19 Juni 2006, kasus
Pollycarpus Budihari Priyanto yang diputus melalui putusan nomor 109
PK/Pid/2007, tanggal 25 Januari 2008, kasus Syahril Sabirin yang diputus melalui
putusan peninjauan kembali nomor 07 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 8 Juni 2009
maupun dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra yang diputus melalui putusan nomor
12 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 11 Juni 2009. Masalah kewenangan Jaksa Penuntut
Umum melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana harus segera dipertegas
pengaturannya agar terjamin kepastian hukum di Indonesia dengan melakukan
kebijakan hukum pidana untuk yang akan datang (ius constituendum).
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
pertama; apakah Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan untuk mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana. Kedua; bagaimana
penerapan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
praktek peradilan pidana di Indonesia. Ketiga; bagaimana seyogyanya pengaturan
upaya hukum peninjauan kembali bagi Jaksa Penuntut Umum dalam pembaharuan
hukum acara pidana Indonesia (RUU KUHAP) dimasa yang akan dating. Lebih
lanjut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan konseptual dan pendekatan
kasus. Sumber bahan hukum yang digunakan, yaitu sumber bahan hukum primer
dan sekunder dengan teknik pegumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi
peraturan perundang-undangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertama, masalah Jaksa Penuntut
Umum mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana merupakan
penyimpangan dari hukum positif (KUHAP) dan tidak dapat dibenarkan karena
Norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas dan
limitatif mengatur para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, yaitu
terpidana atau ahli warisnya. Disamping itu juga, sejarah dan dibentuknya
lembaga peninjauan kembali semata-mata ditujukan bagi terpidana untuk meminta
pemeriksaan ulang atas perkaranya. Sebagai contoh kasus Sengkon dan Karta.
Kedua, penerapan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam praktek di Indonesia, Mahkamah Agung tidak konsisten karena disatu sisi
mengabulkan permintaan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dan
disisi lain menolak perkara peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum, seperti
antara lain kasus H. Mulyar bin Samsi dari Muara Tuweh yang telah diputus
dengan Putusan MA RI Nomor 84 PK/Pid/2006. Mahkamah Agung RI menolak
permintaan peninjauan kembali dari Jaksa Penuntut Umum dengan alasan karena
Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah mengatur secara tegas dan limitatif yang dapat
mengajukan peninjauan kembali ialah terpidana atau ahli warisnya (alasan
undang-undang), Putusan Mahkamah Agung No. 25 PK/Pid.Sus/2007, Putusan
Mahkamah Agung No. 07 PK/Pid.Sus/2009, Putusan Mahkamah Agung No. 40
PK/Pid/2009, putusan Mahkamah Agung No. 16 PK/Pid.Sus/2007, Putusan
Mahkamah Agung No. 153/Pid/2010, Putusan Mahkamah Agung No. 71 PK/
Pid.Sus/2009, Putusan Mahkamah Agung No. 38 PK/Pid.Sus/2011, Putusam
Mahkamah Agung No. 84 PK/PJK/ 2010. Pertimbangan-pertimbangan hukum
yang dikemukakan oleh dua (2) majelis pada Mahkamah Agung tersebut tentu
membingungkan, yang mana harus diikuti karena tidak satu. Hal ini akan
menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Ketiga, Terhadap kasus tersebut
yang telah diputus oleh majelis Mahkamah Agung yang menerima dan mengakui
Jaksa Penuntut Umum juga sebagai pihak yang dapat mengajukan peninjauan
kembali menimbulkan perdebatan pro dan kontra dari kalangan pakar hukum.
Perdebatan tersebut berlarut larut akibat multi tafsir dalam norma Pasal 263 ayat
(1) KUHAP di kalangan penegak hukum. Oleh karena itu, perlu diatur lebih tegas
pengaturannya dengan melalui kebijakan hukum pidana yang akan datang (ius
constituendum). Kebijakan hukum pidana (di bidang hukum pidana formal) dapat
dilakukan dengan cara melakukan pembaharuan hukum pidana (pembaharuan
substansi hukum pidana formal). Pembaharuan hukum pidana (pembaharuan
substansi hukum pidana formal), yaitu KUHAP dapat dilakukan dengan cara
merevisi atau membuat Konsep KUHAP baru (RUU KUHAP). Dalam rangka
pembaharuan hukum acara pidana (RUU KUHAP), Jaksa Penuntut Umum tidak
perlu diberikan melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini didasari oleh beberapa
alasan, pertama, sebagai perbandingan dari negara-negara lain hanya negara China
yang membolehkan Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali. Kedua, Sejarah
KUHAP untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Maksud pembentukan lembaga peninjauan kembali semata-mata ditujukan bagi
terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya, bukan untuk
kepentingan negara. Munculnya atau mencuatnya persoalan lembaga peninjauan
kembali dimulai sejak terjadinya kasus Sengkon dan Karta. Ketiga, KUHAP | en_US |