Hukum Adat Dalam Kosmologi Osing Banyuwangi – Jawa Timur
View/ Open
Date
2013-12-02Author
Dominikus Rato
Herowati Poesoko
Sugijono
Metadata
Show full item recordAbstract
Aktualisasi hukum dari seorang individu atau komunitas sosial suatu masyarakat selalu seiring dengan pandangan hidup, falsafah hidup atau dalam pengertian antropologi disebut dengan kosmologi dan dalam pengertian sosiologi disebut konteks sosial. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budayanya. Pandangan ini memperkuat pandangan Von Savigny sebelumnya yang mengatakan bahwa hubungan hukum dan masyarakat ibarat jiwa dan raga, hukum adalah jiwa masyarakat itu. Jika pandangan ini benar, maka untuk memahami hukum adat masyarakat Osing, perlu dipahami terlebih dahulu kosmologi masyarakat Osing itu sendiri.
Berangkat dari latar belakang di atas penelitian ini bertujuan untuk memahami hukum adat dalam kosmologi Osing di Desa Kemiren, Banyuwangi. Bagaimana aktualisasi hukum adat di Desa Kemiren, khususnya hukum harta perkawinan dan pewarisan itu dipengaruhi oleh kosmologi mereka; dan bagaimana kosmologi memandu pola pikir masyarakat Osing dalam kaitannya dengan dinamika hukum di Desa Kemiren, khususnya hukum harta perkawinan dan pewarisan dalam menghadapi perubahan, menjadi pertanyaan utama penelitian ini. Untuk menjawab pertanyaan itu, penelitian ini bergerak dalam paradigma Konstruktivisme. Konsekuensi ilmiah dari paradigma ini menuntut epistemologi yang tepat, dan epistemologi itu adalah verstehen. Oleh karena itu, metode penelitian yang dilakukan adalah kualitatif. Berdasarkan paradigma yang demikian itu, diasumsikan bahwa realitas itu berada pada tataran gagasan individu. Karena realitas berada pada tataran gagasan individu atau konstruksi individu-individu yang rentan dengan benturan, namun tetap dalam aras harmoni, maka simbol, ritual, dan mitos, merupakan sarana yang tepat untuk objektivasi dan internalisasi. Oleh karena itu, secara metodelogis diperlukan interpretasi.
Dengan demikian, dalam penelitian ini ditemukan bahwa berdasarkan kosmologi, gagasan individu dalam masyarakat Osing dibagi menjadi tiga kategori yaitu kelompok yang menganut ”Kitab Basah” atau Kaum Mistikus, kelompok penganut ”Kitab Kering” atau Kaum Normatif, dan kelompok yang tidak penganut ”Kitab Basah” maupun ”Kitab Kering” yaitu Kaum Nominal. Berdasarkan kategori ini ditemukan bahwa aktualisasi hukum, dalam konteks yang sedang dibahas adalah hukum adat, khususnya hukum adat perkawinan, kosmologi memandu pola pikir mereka berkenaan dengan keabsahan perkawinan. Bagi penganut ”Kitab Basah” harta perkawinan itu merupakan milik bersama anggota keluarga, karena keluarga merupakan suatu ketunggalan manusia yang hidup bersama. Bagi penganut ”Kitab Kering” harta perkawinan merupakan hak milik bersama yang dapat dimiliki secara individu. Dan, bagi kaum Nominal pengertian harta perkawinan merupakan hak milik bersama anggota keluarga seperti yang dipahami oleh para penganut Kitab Basah. Terhadap pewarisan, kaum Normatif lebih condong pada hukum agama, khususnya Hukum Islam walaupun tidak sepenuhnya, kaum Mistikus dan Nominal lebih cenderung tunduk pada Hukum Adat. Namun demikian, dalam perkembangannya, ada kecenderungan perubahan kearah Hukum Negara. Hal ini disebabkan oleh beberapan factor, a.l: a) Berkembangnya issue HAM; b) Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (issue gender); c) Campur tangan Negara melalui hokum Negara.
Dengan pendekatan antropologis (emic – etic) dan dipandu oleh paradigma konstruktivisme, serta teori-teori kosmologi, antropologi, agama, dan hukum, menuntun penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa hukum adat sebagai hukum yang hidup, khususnya hukum perkawinan adat pada masyarakat Osing selalu bergerak dalam medan dan menurut ritme kosmologi mereka. Untuk menghadapi perubahan, individu dituntut selalu menyesuaikan diri secara aktif (adaptif aktif), melakukan reinstitusionalisasi, reproduksi dan rekonstruksi informasi yang datang dari luar. Di dalam hukum adat, secara khusus hukum adat perkawinan, kosmologi berfungsi sebagai pemandu baik sebagai ius constitutum maupun ius constituendum. Para pembuat hukum, pelaksana hukum, dan penegak hukum perlu memahami kosmologi masyarakat lokal, jika mereka menghendaki hukum menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat, ditaati secara sadar, dan dipertahankan secara nyata.
Kata Kunci : hukum adat, kosmologi
Collections
- LRR-Hibah Fundamental [144]