Kepastian Hukum Penyelesaian di Luar Proses Peradilan dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan Pelaku Anak
Abstract
Peningkatan kasus kekerasan seksual mendorong pemerintah melalui badan legislator untuk membentuk Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kekerasan Seksual. Peraturan tersebut mengatur mengenai penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual terhadap pelaku anak sebagaimana diatur pada Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. berdasarkan hal tersebut terdapat rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian tesis ini yaitu: Pertama, menemukan kepastian hukum pada formulasi Pasal 23 UU TPKS yang menentukan mengenai penyelesaian di luar proses peradilan pada tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku anak Kedua, menemukan kesesuaian penerapan penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku anak dengan sistem peradilan pidana anak. Ketiga, menemukan konsep kebijakan formulasi penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku anak berdasarkan prinsip kepastian hukum.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Hasil pembahasan dari penelitian ini yaitu: Pertama, ketentuan Pasal 23 UU TPKS tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Terlihat dari ketiadaan norma yang mengatur secara jelas dan spesifik mengenai ketentuan dalam pelaksanaan penyelesaian di luar proses peradilan pada tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak menimbulkan perbedaan norma pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2023 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak beserta peraturan internal lainnya di setiap tingkat pemeriksaan sehingga tidak adanya kesesuaian antara tindakan penegak hukum dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Kedua, Penerapan penyelesaian di luar proses peradilan dengan pelaku anak pada tindak pidana kekerasan seksual tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal tersebut terlihat dari penjatuhan putusan dalam tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara oleh Hakim dengan mengembalikan anak pada orang tua dengan pertimbangan telah adanya upaya damai antara para pihak berperkara. Ketiga, Kebijakan reformulasi penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku anak yaitu dengan merevisi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU SPPA dengan menghapuskan syarat batas diversi serta menambahkan ketentuan khusus mengenai bentuk diversi bagi ABH dengan melakukan pembinaan di LPKS atau pelayanan masyarakat dengan menyertakan kewajiban pemberian restitusi kepada korban berupa pemulihan dan ganti rugi serta perlunya menambahkan ketentuan khusus pada Pasal 23 UU TPKS yang mengatur mengenai pelaksanaan diversi.
Saran yang dapat diberikan dari tesis ini yaitu perlu dibuatkan aturan secara jelas khususnya mengenai penyelesaian di luar proses peradilan terhadap tindak pidana kekerasan seksual oleh pelaku anak. dengan merevisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk teknis dalam penerapan penyelesaian di luar proses peradilan dalam tindak pidana kekerasan seksual.
Collections
- MT-Science of Law [351]