dc.description.abstract | Tesis dengan judul “Prinsip Mediasi Nonlitigasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perdata di Indonesia”, didasarkan pada suatu fakta, bahwa di Indonesia bila
terjadi sengketa pada umumnya masyarakat masih banyak menggunakan jalur litigasi
(pengadilan) untuk mendapatkan keadilan, sehingga terjadilah penumpukan perkara.
Padahal sebagai salah satu ciri budaya masyarakat yang bersengketa adalah penyelesaian
melalui musyawarah-mufakat atau mediasi (nonlitigasi) yaitu menyelesaikan sengketa
di luar pengadilan secara win-win solution yang prosesnya lebih cepat dan biaya relatif
lebih murah serta tidak menimbulkan rasa permusuhan pihak-pihak bersengketa, tetapi
penyelesaian ini masih kurang begitu diminati.
Berkaitan dengan pengaturan mediasi yang bersifat parsial dan tersebar dalam 23
(dua puluh tiga ) peraturan perundang-undangan, apakah prinsip dasar mediasi nonlitigasi
yang melandasai keberadaannya. Disamping itu kondisi ini memungkinkan terjadinya
inkonsistensi, khususnya berkaitan dengan mediasi nonlitigasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Pasal 23 Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, yang mengatur pengukuhan kesepakatan perdamaian di luar pengadilan untuk
mendapatkan akta perdamaian.
Ada 3 (tiga) masalah yang teridentifikasi berkaitan dengan latar belakang masalah
di atas, yaitu : 1. Apakah yang menjadi prinsip-prinsip dasar mediasi nonlitigasi menurut
peraturan perundang-undangan di Indonesia ? 2. Apakah yang menjadi prinsip-prtinsip
mediasi menurtut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ? Apakah prinsi-prinsip mediasi
nonlitigasi sebagaimana datur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip mediasi dalam UU Nomor 30 Tahun 1999.
Metodologi yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah yuridis-normatif
dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Bahan-bahan hukum yang digunakan meliputi bahan
hukum primer, sekunder dan bahan-bahan non hukum yang kemudian di analisa
menggunakan asas hukum, teori hukum dan konsep-konsep ataupun doktrin-doktrin
hukum sehingga menghasilkan suatu preskripsi yang diharapkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama, ada lima prinsip dasar (basic
prinsiples) dari mediasi nonlitigasi yang merupakan landasan filosofis dari
diselenggarakannya kegiatan mediasi, yaitu prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip
sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas
(neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution). Keberadaan kelima prinsip
dasar mediasi ini di Indonesia pengaturannya tersebar dalam duapuluh tiga (23) peraturan
perindang-undangan dan masih bersifat parsial, yang terimplementasikan dalam
konsideran maupun pasal-pasalnya, walaupun sebenarnya prinsip dasar mediasi ini
sebenarnya merupakan landasan filosofis yang melatarbelakangi kelahiran dari lembaga
mediasi nonlitigasi.
Kedua, mediasi sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 dapat
dibedakan atas mediasi litigasi dan mediasi nonlitigasi. Mediasi litigasi sebagaimana di
atur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 memuat sepuluh (10) prinsip pengaturan tentang
penggunaaan mediasi yang terintegrasi di pengadilan (court-connected mediation). yaitu :
1) Mediasi wajib ditempuh, 2) Otonomi para pihak, 3) Mediasi dengan itikad baik, 4)
Efisiensi waktu, 5) Sertifikasi mediator, 6) Tanggung Jawab Mediator, 7) Kerahasiaan, 8)
Pembiayaan, 9) Pengulangan Mediasi dan 10) Kesepakatan Perdamaian di Luar
Pengadilan. Sedangkan prinsip mediasi nonlitigasi yang diatur dalam Perma Nomor 1
Tahun 2008 sebagaimana tertuang dalam Pasal 23, yaitu : 1) kesepakatan perdamaian di
luar pengadilan yang dibantu oleh mediator bersertifikat dapat dikuatkan menjadi akta
perdamaian dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan. 2) Pengajuan gugatan harus
dilampiri dengan kesepakatan perdamaian diluar pengadilan dan dokumen-dokumen lain
yang membuktikan adanya hubungan hukum para pihak dan obyek sengketa. 3)
Kesepakatan perdamaian diluar pengadilan akan dikuatkan bila memenuhi syarat-syarat :
a) sesuai kehendak para pihak, b) tidak bertentangan dengan hukum, c) tidak merugikan
pihak ketiga, d) dapat dieksekuisi dan e) dengan itikad baik.
Ketiga, Adanya inkonsistensi pengaturan mediasi nonlitigasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 ayat (7) UU Nomor 30 Tahun 1999 dengan Pasal 23 Perma Nomor 1
Tahun 2008, yaitu berkaitan dengan pengukuhan kesepakatan perdamaian diluar
pengadilan menjadi akta perdamaian ke pengadilan negeri setempat. Perbedaannya adalah
dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, mengehendaki Kesepakatan perdamaian yang
dikukuhkan harus dengan bantuan seorang mediator bersertifikat, diajukan melalui
gugatan dan harus memenuhi persyaratan yang bersifat kumulatif,yaitu sesuai kehendak
para pihak, tidak bertentangan dengan hukum, tidak merugikan pihak ketiga, dapat
dieksekusi dan beritikad baik, disamping itu tidak ada batasan waktu kapan harus
diajukan. Sedangkan UU Nomor 30 Tahun 1999 yang mempunyai kedudukan lebih tinggi
dari Perma Nomor 1 Tahun 2008, pengukuhan tersebut wajib didaftarkan dalam kurun
waktu 30 hari setelah penandatangan kesepakatan perdamaian. Dengan menggunakan
analisa Stuffenbau Theory dari Hans Kelsen, Teori Keberlakuan Hukum dari Sudikno
Mertokusumo, Bagir Manan dan JJH. Bruggink serta mendasarkan pada Asas Hukum Lex
Superior Derogat Legi Inferiori, maka seharusnya kaedah hukum yang lebih tinggilah
yang dimenangkan, dalam hal ini penulis memahami Peraturan Mahkamah Agung
sebagai Peraturan Perundang-undang yang kedudukannya lebih rendah dari UU, karena
kelahirannya berdasarkan kewenangan atributif maupun delegatif.
Oleh karenanya kedepan perlu dilakukan unifikasi pengaturan mediasi dalam satu
peraturan perundang-undangan dan memasukkan mediasi dalam ranah litigasi sematamata
sebagai wujud untuk mengisi kekosongan hukum maupun pelengkap ketentuan dari
Pasal 130 HIR/154 RBg.. Khususnya untuk Pasal 23 PERMA Nomor 1 Tahun 2008,
perlu dilakukan kajian ulang khususnya mengenai prosedur pengukuhan kesepakatan
perdamian di luar pengadilan dan mengatur pula tentang bentuk penolakannya. Adanya
kebebasan atas pilihan penyelesaian sengketa sebagai wujud penghormatan atas
kebebasan asasi manusia. | en_US |