Urgensi Pemeriksaan Setempat Sebagai Pembuktian Sengketa Tanah dalam Hukum Acara Perdata (Studi Putusan Nomor: 8/Pdt.G/2022/PN JMR)
Abstract
Sengketa dalam pertanahan merupakan suatu hal yang tidak asing lagi untuk
didengar dikalangan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang hidup di
lingkungan daerah. Banyak sekali ditemukan beberapa sengketa pertanahan yang
kerap kali terjadi. Hal ini dibuktikan oleh hasil survei yang dilakukan oleh Dirjen
Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN yang
menyebutkan terdapat sekitar 20.000 bidang tanah yang masuk kategori sengketa
dan konflik dalam rentang waktu tahun 2017-2022 yang diketahui melalui program
Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL). Disisi lain, Kementerian ATR/BPN
juga membeberkan terdapat ribuan kasus atau konflik pertanahan di Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat sekitar 8.000 kasus sengketa tanah
yang terjadi selama tahun 2022. Hal ini disampaikan oleh Menteri ATR/BPN dalam
acara Infrastructure Outlook 2022.
Permasalahan dalam sengketa pertanahan khususnya kepemilikan hak atas
tanah dapat diselesaikan melalui jalur non-litigasi maupun litigasi. Penyelesaian
perkara melalui jalur non-litigasi biasanya diselesaikan melalui jalur diluar
pengadilan seperti mediasi, negosiasi, konsiliasi dan arbitrase sedangkan litigasi
merupakan penyelesaian yang diselesaikan melalui jalur pengadilan. Hakim dalam
menyelesaikan perkara perdata membutuhkan adanya keyakinan serta kepastian
yang baik di pengadilan, termasuk pemeriksaan alat bukti yang diajukan baik oleh
penggugat maupun tergugat dalam sidang agenda pembuktian.
Pada penyusunan skripsi ini penulis merumuskan 2 (dua) rumusan masalah
yaitu Pertama, bagaimana peraturan mengenai pemeriksaan setempat yang diatur
dalam hukum positif Indonesia dan Kedua, apakah ratio decidendi hakim dalam
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Jmr yang amarnya
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Pada skripsi ini penulis
menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan relevan terhadap isu hukum yang menjadi objek penelitian. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual serta pendekatan kasus dengan menggunakan Sumber bahan
hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hakim dalam menyelesaikan perkara membutuhkan adanya keyakinan serta
kepastian yang baik di pengadilan, termasuk pemeriksaan alat bukti yang diajukan
dari kedua belah pihak. Meskipun telah diatur alat bukti dalam hukum acara perdata
sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Herziene Indonesich Reglement (HIR) dan
Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu surat, saksi,
pengakuan, sumpah, serta persangkaan, namun tidak jarang dalam pemeriksaan alat
bukti, khususnya dalam sengketa pertanahan terdapat penggunaan instrumen
pemeriksaan setempat sebagai alat bukti pelengkap untuk membuat terang
pembuktian. Instrumen pemeriksaan setempat tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan sebagai alat bukti. Pasal 153 HIR dan SEMA No.
1/2007 menjelaskan pemeriksaan setempat digunakan untuk mendukung suatu alat
bukti dalam perkara perdata khususnya sengketa pertanahan jika memang
dipandang perlu oleh hakim.
Dalam Putusan Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Jmr Penggugat dalam gugatannya
menyatakan bahwa Tergugat telah menguasai tanah seluas 1.628 m2, namun
Tergugat membantahnya melalui eksepsi bahwasannya Tergugat hanya menguasai
tanah tersebut seluas kurang lebih 814 m2, sehingga menyebabkan batas-batas
objek sengketa tidak jelas dan menyebabkan gugatan menjadi kabur. Oleh karena
terdapat perbedaan dalil antara luas tanah yang dikuasai dari Penggugat maupun
Tergugat, majelis hakim melaksanakan pemeriksaan setempat. Berdasarkan Berita
Acara Pemeriksaan Setempat, telah terbukti ternyata Tergugat menguasai objek
sengketa hanya seluas 828 m2. Sehingga berdasarkan uraian pertimbangan diatas
terdapat perbedaan mengenai luas dan batas objek sengketa sehingga menimbulkan
ketidakpastian atas luas objek sengketa.
Apabila ditinjau dari hukum positif yang berlaku di Indonesia pelaksanaan
pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR dan Pasal 180 R.Bg tidaklah
diatur mengenai benda yang dapat dilakukan pemeriksaan setempat. Namun
meskipun demikian permasalahan mengenai benda tersebut sendiri dijawab oleh
Pasal 211 ayat (2) RV yaitu benda yang dapat dilakukan pemeriksanaan setempat
adalah segala benda bergerak yang sulit untuk dibawa ke ruang sidang. Dan dengan
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2001
tentang pemeriksaan setempat dimana dijelaskan bahwa pemeriksaan setempat
dapat dilaksanakan dikhususkan kepada benda tetap saja agar nantinya tidak
memunculkan kesulitan bilamana benda tersebut akan dilaksanakan eksekusi.
Kesimpulan dari skripsi ini antara lain, pemeriksanaan setempat merupakan
salah satu cara pembuktian di luar lima alat bukti yang diatur dalam Hukum Acara
Perdata. Meskipun pemeriksaan setempat tidak dianggap secara formal sebagai alat
bukti, karena tidak termasuk dalam daftar alat bukti yang diakui oleh Pasal 164
HIR, 283 RBg, atau Pasal 1866 KUHPerdata, namun hasil dari pemeriksaan
setempat tetap dapat mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis
hakim. Terhadap Putusan tersebut, ratio decidendi utama hakim yang digunakan
dalam memutus perkara tersebut adalah berkaitan dengan ketidaksesuaian luasan
uraian dalam gugatan dengan yang dihasilkan dari pemeriksaan setempat. Dengan
demikian, penting untuk mengatur pemeriksaan setempat secara lebih rinci.
Saran yang dapat penulis berikan dari penulisan ini sebaiknya pemerintah
memperkuat pengaturan mengenai pemeriksaan setempat yang diatur di dalam
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur Penyempurnaan prosedur
pemeriksaan setempat, pengaturan tata cara, pemberian kewenangan, perlindungan
hak-hak para pihak dan penyusunan pedoman sehingga tidak hanya mengikat pada
lembaga Mahkamah Agung saja namun untuk ditaati oleh pihak yang berperkara
agar pemeriksaan setempat memiliki dasar hukum dan pedoman yang jelas dan
Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan selain mendasarkan kepada alatalat bukti dan hasil pemeriksaan setempat sebaiknya juga harus memperhatikan
aspek aspek pelanggaran hukum sehingga dengan diperhatikannya keseluruhan
pelanggaran hukum yang terjadi.
Collections
- UT-Faculty of Law [6237]