Perlindungan Hukum Bagi Franchisee yang Dirugikan oleh Franchisor dalam Konsep Waralaba Menantea
Abstract
Istilah Waralaba (franchise) berasal dari Bahasa Perancis ”affranchir” yang
berarti to free artinya membebaskan. Waralaba memberikan kebebasan kepada
orang lain guna mengizinkan untuk membuat, menggunakan atau menjual sesuatu.
Bisnis waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat
dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dimana dalam usaha
tersebut guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan khususnya dalam
bidang usaha penyediaan produk jasa langsung kepada konsumen. Terjadinya
kerugian pada salah satu pihak waralaba dapat memicu terjadinya permasalahan
yang serius dikarenakan tidak adanya kepastian dari salah satu pihak. Pada dasarnya
waralaba adalah tentang perjanjian bagaimana konsumen mendapatkan barang dan
jasa. Franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk mendistribusikan
barang dan jasa di bawah nama dan identitas franchisor di wilayah tertentu. Usaha
ini dilakakukan dengan cara yang ditetapkan oleh franchisor dan franchisor juga
memberikan bantuan kepada franchisee. Sehingga franchisee harus membayar
initial fee dan royalti sebagai imbalannya. Perjanjian waralaba diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pada Buku III tentang Perikatan.
Dalam teori pelindungan hukum secara perdata menurut M. Isnaeni,
perlindungan hukum berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu perlindungan hukum internal dan perlindungan hukum eksternal.
Perlindungan hukum internal adalah perlindungan hukum yang dibuat oleh para
pihak sebelum membuat perjanjian. Sedangkan perlindungan hukum eksternal
adalah perlindungan hukum yang dibuat oleh pemerintah guna melindungi dan
mementingkan pihak yang lemah dengan hakikat aturan yang tidak boleh bersifat
memihak. Waralaba Menantea yang resmi dibuka pada tanggal 10 April 2021
tepatnya di Jakarta. Waralaba ini dibuka pada masa pandemi sehingga Menantea
memanfaatkan teknologi informasi untuk memasarkan dan mempromosikan
produknya dengan melakukan konten interaktif untuk pengikutnya di media sosial.
Hal ini dikarenakan, karena konten interaksi dengan para pengikut dan pelanggan
jarang ditemukan pada bisnis kuliner lainnya. Bisnis ini menghadirkan konsep
penjualan minuman teh yang diracik dengan buah-buahan yang segar seperti,
stroberi, lemon, apel, dan leci. Dalam kasus Waralaba Menantea menggunakan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Waralaba adalah jenis perikatan yang tunduk pada ketentuan umum yang
diatur dalam KUH Perdata, dimana suatu perjanjian dianggap sah apabila telah
memenuhi empat syarat yang dijelaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat
konsep waralaba dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Permendagri Nomor 71 Tahun
2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba yaitu (a) memiliki ciri khas usaha; (b) terbukti sudah memberikan keuntungan; (c) memiliki standar atas pelayanan dan
barang dan/atau jasa; (d) mudah diajarkan dan diaplikasikan; (e) adanya dukungan
yang berkesinambungan; (f) HKI yang telah terdaftar. Pada kasus Menantea, pihak
franchisee menjelaskan bahwa dirinya mengalami kerugian akibat pendapatan dan
penjualan produk Menantea yang tidak sesuai dengan perjanjian yang ditawarkan
saat pembelian franchise. Pihak franchisee mengeluh dikarenakan penjualan
perharinya tidak lebih dari 10 botol. Selain kurangnya marketing dari pihak
franchisee, terlebih lagi harga produk Menantea cenderung mahal untuk target
pasar penjualannya. Dalam perjanjian franchise, Menantea menawarkan dua jenis
franchise, yaitu Outlet Standar dan Outlet Autopilot. Di mana dalam dua jenis ini
terdapat perbedaan harga, prosedur pembagian omzet dan perkiraan akan waktu
balik modal. Untuk harga outlet standar berkisar Rp125.000.000 dengan perkiraan
waktu balik modal 6 sampai 10 bulan, sedangkan untuk harga outlet autopilot
berkisar Rp175.000.000 dengan perkiraan waktu balik modal 9 sampai 20 bulan.
Melihat mahalnya harga franchise, membuat franchisee menuntut tanggung jawab
dari pihak Menantea, mengenai apa hal yang harus dilakukan oleh franchisee agar
masalah tersebut dapat teratasi. Akan tetapi, pihak franchisor membutuhkan waktu
lama dalam menanggapi hal tersebut, hingga pada akhirnya Jehian Panangian
sebagai salah satu founder Menantea memberikan jawaban melalui Twitter-nya
mengenai pihaknya yang telah berdiskusi dengan lebih dari 10 perwakilan mitra
untuk mencapai titik temu terhadap bisnis tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa perlindungan
hukum franchisee yang dirugikan oleh franchisor dalam konsep waralaba
Menantea termasuk dalam kategori wanprestasi, dimana pihak franchisor telah lalai
dalam melindungi para franchisee-nya dalam melakukan pembinaan dan pelayanan
akan permasalahan tersebut. Akan tetapi, karena fokus permasalahan ini lebih
menjelaskan bagaimana tanggung jawab hukum Menantea kepada para franchiseenya yang mengalami kerugian. Sesuai dengan Pasal 1854 KUH Perdata
menjelaskan bahwa setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang termaktub di
dalamnya, pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan harus diartikan
sepanjang hak dan tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan dimana hal itu
menjadi sebab perdamaian. Pihak franchisee memiliki hak untuk menuntut ganti
rugi kepada pihak franchisor menggunakan metode negosiasi guna mencapai
penyelesaian permasalahan yang adil dan memuaskan bagi semua pihak yang
terlibat.
Collections
- UT-Faculty of Law [6233]