Peranan Kontras (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dalam Menangani Kasus Pelanggaran HAM Talangsari 2001-2010
Abstract
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
muncul pada masa reformasi sebagai respon terhadap banyaknya kasus
pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. Skripsi ini membahas peran KontraS
dalam menangani kasus pelanggaran HAM Talangsari yang terjadi pada tahun
1989. kasus Talangsari Lampung yang terjadi baru mendapat perhatian pada
masa setelah reformasi 1998.Pemerintah Orde Baru melakukan pembungkaman
terhadap kebebasan berpendapat dan juga kebebasan pers. Talangsari pertama
dikemukakan lewat Pers/Berita. KontraS tidak lepas menyiarkan berita tentang
peristiwa Talangsari Lampung. KontraS secara resmi berperan sebagai advokator
pada 25 Mei 2001. Namun proses pertimbangan turut serta KontraS dalam kasus
ini dimulai ketika muncul publikasi Tragedi Talangsari di Lampung.
Rumusan masalah dalam penelitian ini (1) Mengapa KontraS terlibat
menangani kasus pelanggaran HAM Talangsari tahun 2001 (2) Bagaimana usaha
KontraS dalam menangani kasus pelanggaran HAM Talangsari pada tahun 2001-
2010 (3) Bagaimana Pengaruh KontraS dalam Menangani kasus pelanggaran
HAM Talangsari. Penelitian ini dalam upaya untuk mengetahui Peranan KontraS
dalam penanganan kasus pelanggaran HAM khususnya pada kasus Talangsari.
Penelitian teori Peran Biddle dan Thomas (Role Theory) dan pendekatan Sosiologi
Politik serta menggunakan metode sejarah menurut Kuntowijoyo yang terdiri dari
(1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber (3) kritik sumber (verifikasi) (4)
interpretasi dan (5) penulisan.
Hasil dari Penelitian ini adalah KontraS menemukan banyaknya
pergerseran fakta yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru, ini terlihat dari
bagaimana Pemerintah dalam mengontrol Pers pada tahun 1989. KontraS terlibat
dalam kasus Talangsari untuk membantu korban tergabung kedalam PK2TL
(Paguyuban Keluarga Korban Talangsari) yang tidak mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Langkah-langkah yang diambil KontraS meliputi investigasi, yang
kemudian hasilnya diserahkan kepada Komnas HAM untuk diajukan kepada Kejaksaan Agung agar menghadirkan pengadilan HAM Ad Hoc. Selain itu,
KontraS mengadakan audiensi dengan DPR-RI untuk mendapatkan dukungan
dalam menyelesaikan kasus tersebut. Tidak hanya berhenti di situ, KontraS juga
berkoordinasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
memproyeksikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Talangsari.
Lambatnya penanaganan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM mendorong terbangunnya Komunitas penggiat HAM, salah
satunya adalah Aksi Kamisan. Aksi ini merupakan bentuk protes kepada
pemerintah yang dilakukan di depan Istana Negara dengan menggunakan baju
serta atribut hitam karena telah berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM pada masa lalu namun pada nyatanya yang terjadi pada realitanya tidak
sesuai dengan yang dijanjikan.
Dalam upaya menyelesaikan kasus ini, KontraS menghadapi berbagai
tantangan, termasuk kompleksitas kasus dan perbedaan pandangan mengenai cara
penyelesaian. Beberapa korban memilih untuk menyelesaikan kasus melalui
proses islah yang diinisiasi oleh pelaku, Kolonel A.M Hendropriyono, sementara
KontraS dan keluarga korban lainnya menginginkan penyelesaian melalui
pengadilan HAM Ad Hoc.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa KontraS memainkan
peran penting dalam membantu korban pelanggaran HAM Talangsari melalui
berbagai langkah strategis seperti investigasi, audiensi, dan koordinasi dengan
pemerintah. Penelitian ini menyarankan agar pembaca mendalami perjuangan
lembaga non-pemerintah dan agar penelitian lebih lanjut dilakukan untuk
memahami lebih dalam perjuangan KontraS dan lembaga serupa.