Prinsip Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana Persetubuhan
Abstract
Anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan pada praktiknya sulit dalam hal memperjuangkan haknya berupa perlindungan hukum sebagai korban. Khususnya dalam perkara pada putusan Kasasi Nomor 281 K/Pid.Sus/2019 dan Putusan Banding Nomor 155/Pid.Sus/2018/PT.Mdn yang dijadikan sebagai objek penelitian, perlu diteliti sampai mana perlindungan hukum hak anak sebagai korban tindak pidana terpenuhi. Dengan menggunakan penelitian hukum normatif serta menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan kasus (case approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian ini menemukan masalah yang harus dicari jawabannya untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan, yaitu pemenuhan hak anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan, pengaturan tindak pidana persetubuhan terhadap anak dalam melindungi kepentingan anak sebagai korban serta kebijakan aplikasi pemberian restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan di masa yang akan datang. Dalam permasalahan tersebut ternyata ditemukan bahwa regulasi yang ada pada saat itu belum begitu fokus kepada korban, sistem peradilan pidana pada saat proses perkara tersebut masih berfokus kepada terdakwa sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan korban hanya bersifat pasif karena kepentingan hukumnya sudah diwakili oleh penyidik dan penuntut umum. Adanya pengaturan tentang restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan, tidak serta merta dapat melindungi anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan. Hal ini dikarenakan pengetahuan mengenai hak restitusi bagi korban tindak pidana persetubuhan, tidak semuanya mengetahui tentang tata cara permohonan restitusi. Pihak keluarga korban yang tidak meminta atau mengajukan permohonan restitusi kepada hakim melalui dakwaan jaksa, maka korban tidak bisa mendapatkan hak restitusi. Hal inilah yang disebut bahwa anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan belum bisa mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal.. Kebijakan reformulasi penerapan restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan di masa yang akan datang, ditemukan reformulasi penerapan restitusi berupa kewajiban bagi Jaksa Penuntut Umum dan bersifat otomatis untuk mencantumkan permohonan restitusi, baik di dalam surat dakwaan maupun dalam surat tuntutan tanpa harus menunggu permohonan restitusi dari korban atau pun pihak korban. Mekanisme permohonan restitusi dilakukan dengan memperbaharui ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP (mengenai tata cara tuntutan ganti rugi dalam perkara pidana) dengan ketentuan restitusi sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 15 PERMA No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Collections
- MT-Science of Law [334]