Artificial Intelligence dalam Teori Subjek Hukum (Studi Perbandingan Afrika Selatan, Australia, dan Indonesia) sebagai Pihak dalam Permohonan Paten dan Hak Cipta
Abstract
Artificial Intelligence adalah sistem komputer atau perangkat lunak yang
meniru proses berpikir dan perilaku manusia dengan tujuan membantu dalam
beberapa kasus menggantikan manusia dalam lingkungan bisnis dan sosial tertentu.
Di negara Afrika Selatan dan Australia mengakui bahwa Artificial Intelligence atau
DABUS sebagai penemu, “penemuan ini dihasilkan secara mandiri oleh kecerdasan
buatan.” Namun dengan adanya keputusan Pengadilan Federal Australia ini maka
Dabus tidak didaftarkan sebagai objek paten melainkan sebagai inventor, sama hal
nya seperti di negara Afrika Selatan yang menerbitkan penerimaan Paten No.
2021/03242 (“Paten SA DABUS”) di jurnal Paten Afrika Selatan. Di Indonesia
sudah banyak berbagai macam kecerdasan buatan yang masuk dan beredar di
negara Indonesia, seperti, TVone menggunakan avatar Artificial Intelligence,
Tvone.ai karni ilyas, robot yang ada di sumedang yang dibuat oleh Muhammad
Ihsan Ismail dengan menggunakan Artificial Intelligence. tetapi belum ada undang undang yang mengatur secara khusus mengenai Artificial Intelligence saat ini.
Dalam pembahasan kali ini penulis ingin menganalisi apakah Artificial Intelligence
dapat dikatakan sebagai subjek hukum dalam hukum Indonesia? dan Bagaimana
perbandingan hukum kedudukan Artificial Intelligence dalam permohonan Paten
dan Hak Cipta di Afrika Selatan, Australia, dan Indonesia? Tujuan dari penulisan
ini yakni terdiri dari dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus untuk
mengetahui Teori Hukum tentang Subjek Hukum pada Artificial Intelligence dan
perbandingan hukum kedudukan Artificial Intelligence dalam permohonan Paten
dan Hak Cipta di Afrika Selatan, Australia, dan Indonesia. Manfaat dari penulisan
ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Metode yang
digunakan pada penulisan skripsi ini yaitu metode penelitian yuridis normatif yang
mengacu pada peraturan perundang-undangan dan kajian Pustaka. Pendekatan yang
digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan
pendekatan perbandingan, serta sumber bahan hukum primer, sekunder, dan non hukum.
Kajian pustaka dalam penulisan skripsi ini meliputi beberapa substansi
yaitu: Pertama, tentang Teori Subjek Hukum, pada sub-bab pertama membahas
tentang pengertian Teori Hukum, pada sub-bab kedua membahas mengenai Subjek
Hukum. Kedua, tentang Artificial Intelligence, pada sub-bab pertama membahas
mengenai pengertian Artificial Intelligence, pada sub-bab kedua membahas tentang
perkembangan Artificial Intelligence, pada sub-bab ketiga membahas mengenai
tujuan dibuatnya Artificial Intelligence. Ketiga, tentang Hak Kekayaan Intelektual,
pada sub-bab pertama membahas tentang pengertian Hak Kekayaan Intelektual,
pada sub-bab kedua membahas mengenai jenis Hak Kekayaan Intelektual, pada
sub-bab ketiga membahas mengenai paten, pada sub-bab keempat membahas
mengenai Hak Cipta.
Unsur-unsur subjek hukum manusia dan badan hukum Artificial
Intelligence tidak memenuhi kedua unsur tersebut yaitu sebagai subjek hukum
manusia maupun badan hukum, didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) dan Undang undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang paten (selanjutnya disebut Undang-undang
Paten). Dalam Undang-undang Hak Cipta, Artificial Intelligence tidak dapat diakui
sebagai Pencipta atau inventor. Dilihat dari pasal 1 angka 2 dan angka 27 Undang undang Hak Cipta dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hanya “seseorang” atau
“orang” yang dapat menerima hak cipta dan pemegang paten. Sedangkan Dalam
konteks Undang-undang Paten di Indonesia, Indonesia tidak mengakui Artificial
Intelligence sebagai inventor karena berdasarkan Pasal 10 juncto Pasal 1 Angka 13
Undang-undang Paten menyebutkan hanya orang atau seseorang yang dapat
menjadi inventor. Afrika Selatan adalah satu-satunya negara yang mengakui bahwa
Artificial IntelligenceI dapat menjadi Inventor atau penemu, dalam kasus DABUS
negara Afrika Selatan memberikan paten kepada temuan yang telah dihasilkan oleh
DABUS atau Artificial Intelligence tersebut. Secara yuridiksi Afrika Selatan yang
saat ini tidak melakukan pemeriksaan substantif atas permohonan paten, kepatuhan
terhadap persyaratan formal seperti mengidentifikasi penemu dalam dokumen
permohonan paten akan memungkinkan permohonan paten dikabulkan. Negara
Australia sempat mengakui Artificial Intelligence
atau DABUS sebagai inventor atau penemu, tetapi saat naik banding, Pengadilan
Penuh di Pengadilan Federal Australia dalam Komisaris Paten melawan Stephen
Thaler [2022] FCAFC 62 membatalkan keputusan awal, dengan dasar bahwa
“penemu”, dalam pengertian Bagian 15(1) Paten Act 1990, harus merupakan “orang
perseorangan”. Di Indonesia pada lingkup Hak Cipta tidak mengakui Artificial
Intelligence menjadi subjek hukum karena dalam pasal 1 angaka 2 Undang-undang
nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, menyebutkan hanya manusia yang dapat
menjadi pemegang hak cipta, dijelaskan juga dalam pasal 1 angka 27 Undang undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Bahwa kesimpulannya Artificial Intelligence tidak dapat menjadi subjek
hukum karena tidak memenuhi unsur subjek hukum manusia dan badan hukum,
ditinjau juga pada undang-undang Paten dan Undang-undang Hak Cipta hanya
orang atau seseorang saja yang dapat menjadi pemegang hak cipta dan Inventor.
Penulis juga memberi saran dalam skripsi ini bahwa dinegara Australia, Afrika
Selatam maupun Negara Indonesia dapat memperbaiki isi peraturan hukum yang
sedang berlaku untuk memasukkan Artificial Intelligence didalamnya agar tidak
terjadi ketimpangan dalam permasalahan yang dihadapi dimasa sekarang maupun
di masa mendatang dan mendapat kejelasan atas kedudukan Artificial Intelligence
dimasa mendatang dengan melihat Artificial Intelligence semakin canggih dan
sudah beredar di mana-mana.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]