Kepastian Hukum Kreditor Atas Hak Kepemilikan Satuan Rumah Susun Apartemen Green Pramuka City Putusan Nomor : 110/Pdt.sus/2020/PN Niaga.jkt.PST
Abstract
Hubungan hukum jual beli satuan rumah susun yang melibatkan metode
Pre-Project selling baik antara penjual maupun pembeli tentu saja tidak akan
terlepas dari adanya permasalahan hukum yang melingkupi, hal tersebut terutama
berkaitan dengan kepastian hukum yang diperoleh pembeli pasca pemenuhan
kewajiban atas prestasinya. Pada perkembanganya Pengembang seringkali
dianggap lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk melakukan pengalihan
kepemilikan atas unit yang telah dilunasi.
Kelalaian pengembang yang menyebabkan tidak dapat dialihkannya hak
kepemilikan satuan rusun menciptakan suatu kondisi ketidakpastian akan status
kepemilikan satuan rumah susun yang seharusnya menjadi hak dari pembeli.
Ketidakpastian akan status kepemilikan satuan rumah susun tersebut kemudian
hari sering memicu timbulnya sengketa antara pihak pengembang perumahan
dengan pembeli perumahan. Permasalahan serupa dapat dianalisis melalui studi
putusan bernomor 110/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga.Jkt.Pst, dimana PT. Duta
Paramindo Sejahtera selaku pengembang (developer) apartemen Green Pramuka
City dimohonkan PKPU oleh Arya Adipurwa dan Indiarti Wulandari yang
merupakan pembeli unit apartemen Green Pramuka City. Pemohon melalui dalil dalil permohonannya menganggap bahwa pengembang telah berutang dengan
tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan penandatanganan AJB berikut
menyerahkan SHMSRS sebagaimana sebelumnya telah diperjanjikan oleh
pengembang dan tertera dalam surat pernyataan kepada bank, yang mengatakan
bahwa penyerahan SHMSRS akan dilakukan selambat-lambatnya 36 bulan sejak
proses pembangunan tower selesai dibuat (Topping Off).
Perbuatan pengembang yang tidak melakukan penyerahan SHMSRS pada
dasarnya dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, dimana terdapat perbuatan
pengembang yang tidak melaksanakan prestasi atau kewajibannya sebagaimana
perikatan yang telah dibuat. Sehingga dalam hal ini sengketa yang diajukan
seharusnya diselesaikan dengan mekanisme hukum perjanjian melalui gugatan
wanprestasi. Berdasarkan uraian tersebut maka terdapat tiga permasalahan yang
akan diangkat pertama berkaitan dengan bentuk wanprestasi yang dilakukan
pengembang didalam putusan bernomor 110/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN
Niaga.Jkt.Pst, kemudian yang kedua adalah berkaitan dengan sudah tepatnya
upaya hukum yang dilakukan oleh kreditor didalam didalam putusan bernomor
110/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga.Jkt.Pst, dan yang ketiga adalah berkaitan
dengan bentuk kepastian hukum terhadap kreditor yang tidak memiliki SHMSRS.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah yang pertama
Untuk mengetahui bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pengembang Green
Pramuka City kedua untuk mengetahui upaya pengajuan permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang dilakukan oleh kreditor telah menjamin
pemunuhan haknya atau tidak. Dan yang ketiga adalah untuk mengetahui dan
memahami kepastian hukum yang diperoleh oleh kreditor yang tidak memiliki
Sertipikat Hak Atas Satuan Rumah Susun. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif
sendiri adalah penelitian hukum untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi
sehingga pokok kajian dalam hukum normatif akan berlaku dalam masyarakat dan
bagi perilaku setiap orang. Lalu berkaitannya dengan penelitian ini, pendekatan
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil Penelitian yang pertama mengemukakan bahwa bentuk perbuatan
wanprestasi yang dilakukan oleh pengembang adalah berupa tidak dilaksanakan
nya kewajiban pengembang berupa Penandatanganan AJB berikut penyerahan
SHMSRS kemudian hasil penelitian yang kedua mengemukakan bahwa
Terjadinya wanprestasi dapat menimbulkan adanya tuntutan ganti rugi dan
pemenuhan prestasi terhadap diri pengembang. Adapun forum penyelesaian
sengketa yang dipilih oleh kreditor didalam Putusan Nomor 110/Pdt.Sus PKPU/2020/PN Niaga.Jkt.Pst dirasa tidak tepat dalam menjamin adanya kepastian
hukum atas kepemilikan haknya dan seharusnya ditempuh melalui gugatan
wanprestasi lalu dalam penelitian ketiga ditemukan fakta bahwa PPJB yang
dimiliki oleh Kreditor dalam Putusan Nomor 110/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN
Niaga.Jkt.Pst pada dasarnya dapat dijadikan sebagai tanda bukti kepemilikan hak
atas satuan rumah susun, namun penggunaan PPJB ini pada dasarnya bersifat
lemah, sehingga dalam praktiknya secara formil diperlukan adanya akta autentik
yang membuktikan adanya peralihan hak (AJB) dan kepemilikan hak atas satuan
rumah susun (SHMSRS).
Saran dari skripsi ini adalah pertama ditujukan kepada pembuat undang undang, terhadap UU 37/2004 KPKPU diperlukan adanya penambahan norma
berkaitan dengan kondisi insolvensi dan definisi utang. Kemudian diperlukannya
ketentuan Undang-Undang yang secara jelas mengatur berkaitan dengan
SHMSRS terutama diperlukan adanya sanksi-sanksi tegas terhadap terjadinya
pelanggaran-pelanggaran didalamnya.
Kemudian yang kedua ditujukan bagi Pemerintah dimana diperlukan
adanya peran aktif dari pemerintah untuk memberikan sanksi tegas terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Duta Paramindo. Kemudian ketiga ditujukan
pada pengembang yang pada dasarnya diharapkan untuk memenuhi hak-hak
pembeli sebagaimana telah diperjanjikan, adapun pihak pengembang diharapkan
untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya berkaitan dengan proses
penandatanganan AJB dan penyerahan SHMSRS dan yang keempat ditujukan
bagi Majelis Hakim maupun penegak hukum lainya dimana diperlukan adanya
pemahaman secara mendalam berkaitan dengan adanya sengketa perjanjian yang
akan diajukan apakah sengketa tersebut termasuk didalam domain penyelesaian
melalui mekanisme PKPU atau justru merupakan domain dari penyelesaian
sengketa melalui jalur gugatan wanprestasi .
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]