Prinsip Kepastian Hukum Bagi Pihak Ketiga Atas Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan
Abstract
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi, perjanjian perkawinan
yang sebelumnya hanya dapat dibuat pada saat sebelum perkawinan berlangsung
mengalami perubahan menjadi dapat dibuat pada saat sebelum dan selama dalam
ikatan perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai telah mengubah
dan menambah norma dari suatu perjanjian perkawinan. Dari beberapa perubahan
norma pada perjanjian perkawinan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, ada
salah satu perubahan norma yang dianggap menarik oleh peneliti, yaitu terkait
dengan waktu dibuatnya perjanjian perkawinan. Di dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama
dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama. Hal
tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak ketiga. Berdasarkan latar
belakang tersebut diatas, tesis ini mengangkat rumusan masalah: 1) Apakah
perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan telah sesuai dengan prinsip
kepastian hukum bagi pihak ketiga, 2) Apa bentuk perlindungan hukum bagi
pihak ketiga yang merasa dirugikan atas perjanjian perkawinan yang dibuat
setelah perkawinan, 3) Bagaimana pengaturan kedepan tentang perjanjian
perkawinan yang dibuat setelah perkawinan yang sesuai dengan prinsip kepastian
hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bahwa perjanjian
perkawinan yang dibuat setelah perkawinan tidak sesuai dengan prinsip kepastian
hukum bagi pihak ketiga, menemukan bentuk perlindungan hukum bagi pihak
ketiga yang merasa dirugikan atas perjanjian perkawinan yang dibuat setelah
perkawinan dan menemukan pengaturan kedepan tentang perjanjian perkawinan
yang dibuat setelah perkawinan yang sesuai dengan prinsip kepastian hukum.
Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach)
dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Dalam menjawab isu hukum yang ada, penelitian ini menggunakan
beberapa teori dan konsep-konsep yang relevan yaitu prinsip kepastian hukum,
teori perlindungan hukum, penjelasan tentang pihak ketiga, konsep perjanjian,
konsep perkawinan, dan konsep perjanjian perkawinan.
Dari hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa: 1) Perjanjian
perkawinan yang dibuat setelah perkawinan tidak sesuai dengan prinsip kepastian
hukum bagi pihak ketiga karena perjanjian perkawinan hanya sebagai upaya
dalam melindungi kepentingan pihak yang membuatnya yaitu suami istri tanpa
memperhatikan kepentingan pihak ketiga yang tersangkut, sehingga tidak tercipta
suatu keadilan yang menjamin kepentingan para pihak. 2) Bentuk perlindungan
hukum bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan atas perjanjian perkawinan yang
dibuat setelah perkawinan adalah perlindungan hukum eksternal, berupa peraturan
perundang-undangan yang merupakan pembatas-pembatas supaya pihak yang
kuat tidak akan menggunakan asas kebebasan berkontrak secara kuat tidak akan menggunakan asas kebebasan berkontrak secara tidak patut, demi
meraih keuntungan atas kerugian pihak ketiga. 3) Pengaturan kedepan tentang
perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan agar tidak merugikan pihak
ketiga yang sesuai dengan prinsip kepastian hukum adalah dengan membuat
peraturan pelaksana tentang tata cara pembuatan perjanjian perkawinan yang
memuat, a) Perjanjian perkawinan harus dibuat dihadapan Notaris; b) Perjanjian
perkawinan harus didaftarkan ke petugas pencatat perkawinan; c) Perjanjian
perkawinan yang menyangkut pihak ketiga tidak berlaku surut; d) Membuat
pernyataan tertulis mengenai status harta dari suami istri yang membuat perjanjian
perkawinan; e) Dilakukan inventarisir terhadap harta yang ada; f) Harta bersama
yang sedang dijadikan objek jaminan kredit harus dikecualikan; dan g) Dilakukan
pengumuman di surat kabar harian.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis memberikan saran sebagai
berikut: 1) Kepada Pemerintah harus membuat peraturan pelaksana tentang tata
cara pembuatan perjanjian perkawinan atas norma yang ada dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 agar hak dan kepentingan pihak
ketiga tidak merasa dirugikan; atau 2) Kepada Legislatif harus memperbaiki Pasal
29 Undang-Undang Perkawinan dengan pengaturan yang lebih jelas dan
terperinci, keterkaitan dengan hak dan kepentingan pihak ketiga; dan 3) Kepada
Legislatif memberi kewenangan kepada Notaris dalam membuat Akta Perjanjian
Perkawinan agar perjanjian perkawinan lebih berkepastian hukum dan tidak
mengakibatkan kerugian pihak-pihak yang terkait dan dapat memberi keadilan
kepada para pihak.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]