dc.description.abstract | Menyaksikan kenaikan harga bahan pokok dalam menyongsong bulan Ramadan menjadikan sebuah budaya rutin yang terjadi setiap tahun. Namun, kenaikan tahun ini sudah dimulai jauh hari sebelum Ramadan dan berbagai aktivitas-aktivitas investasi bodong, kenaikan kedelai, kelangkaan minyak goreng, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen dan bahan bakar pertamax. Aktivitas yang diikuti dengan antrean, protes bahkan bantuan menjadikan pertunjukan krisis dan sulitnya kehidupan ini. Apakah yang memang harus seperti ini? Melihat saudara yang tertipu dan “menadahkan tangan” untuk demi menjamin kelangsungan hidupnya, sedangkan yang lainnya terus memperhatikan “sendiri” dengan mengistilahkan crazy rich.
Kondisi yang terjadi di tengah pandemi yang belum selesai dan himpitan ekonomi yang luar biasa menjadikan ilusi atau imajinasi untuk “mewah” memang lebih kuat dan mendalam. Dari segi keadilan sosial menjadikan pertunjukkan ketimpangan sosial dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial. Kebanggaan yang bukan sebenarnya jati diri warga negara Indonesia (baca butir ketujuh Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah, dan kedelapan yaitu tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum) yang lebih pada gerakan sosioekonomi-kultural.
Gerakan sosioekonomi-kultural melalui inisiatif sosial berbasis swadaya masyarakat harus diapresiasi sebagai kebajikan yang harus didukung pemerintah sebagai regulator. Kegiatan ini harus diperkuat dengan pendekatan struktural dalam rupa kebijakan pemerintah yang elegan, berupa tindakan welas asih. Nilai welas asih mendasarkan pada kebijakan dan program-program pembangunan yang menjunjung nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan, toleransi, dan inklusif menunjukkan keteguhan dalam memegang dan melaksanakan nilai peradaban luhur bangsa yang dimiliki. | en_US |