Show simple item record

dc.contributor.advisorM. ARIEFAMRULLAH
dc.contributor.advisorJAYUS
dc.contributor.authorUTAMI, NI Gusti Made
dc.date.accessioned2020-08-10T05:23:17Z
dc.date.available2020-08-10T05:23:17Z
dc.date.issued2020-01-01
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/100424
dc.description.abstractKarya ilmiah/tesis ini membahas tentang penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Permasalahan timbul karena konsep “penyalahgunaan wewenang” dalam UU Administrasi Pemerintahan oleh beberapa ahli hukum dipandang sama dengan konsep “menyalahgunakan kewenangan” karena jabatan dalam UU Pemberantasan Tipikor. Ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan absolut antara Peradilan Tipikor dan Peradilan Administrasi, padahal terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi yang lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara. Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum (legal research), artinya menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute-approach), pendekatan konsep (conceptual approach), Pendekatan Kasus (Case Approach) dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif untuk menemukan bagaimana formulasi pengaturan penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami doktrin-doktrin yang telah dikemukakan oleh para ahli terkait isu yang diangkat oleh peneliti yang kemudian dari beberapa doktrin tersebut ditarik kesimpulan kemudian dijadikan pemecahan atas isu yang diangkat oleh peneliti dalam tesis ini. Pendekatan Kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap studi kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan pendekatan historis bertujuan untuk untuk mencari aturan hukum dari waktu ke waktu dalam rangka memahami rasio legis penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bertitiktolak kepada permasalahan dan metode penelitian di atas, dapat diberikan hasil penelitian, yaitu: Pertama, Ratio Legis penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebut secara eksplisit. Dengan tidak adanya penjelasan yang utuh terhadap ketentuan penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka terdapat keterbatasan dalam memahami makna penyalahgunaan kewenangan dalam pemberantasan korupsi ditinjau dari perspektif hukum pidana. Kedua, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ternyata tidak mengatur dengan tegas dan jelas mengenai kriteria penyalahgunaan wewenang. Tidak diaturnya kriteria penyalahgunaan wewenang menimbulkan beberapa interpretasi sehingga kepastian hukum belum terjamin. Tidak terjaminnya kepastian hukum mengakibatkan terhambatnya penegakan hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.. Bertitik tolak dari hasil pembahasan tersebut maka diperoleh kesimpulan yaitu pertama, bahwa latar belakang dimasukkannya penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam Pasal 3, bermula dari subyek hukum yang hendak dibidik yaitu pejabat publik yang melakukan praktek kekuasaan yang buruk yang mengakibatkan kerugian Negara. Kedua, kriteria penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terformulasi dengan ideal sehingga menimbulkan beberapa interpretasi yang mengakibatkan tidak terjaminnya kepastian hukum. Pada akhirnya dari penelitian ini dapat saya sampaikan beberapa saran yaitu pertama, pembentuk undang-undang (legislatif) perlu memunculkan Ratio Legis pengaturan penyalahgunaan wewenang dan disebut dengan tegas dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perlu dikemukakan tentang siapa subyek hukum (pelaku) yang dimaksud dalam kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang. Kedua, pembentuk undang-undang (legislatif) perlu memasukkan domain hukum pidana yang tidak terdapat dalam cabang hukum lainnya yaitu dengan mencantumkan secara tegas pengaturan tentang unsur kesalahan.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherProgram Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember 2019en_US
dc.relation.ispartofseries170720101020;
dc.subjectTindak pidana Korupsien_US
dc.subjectKorupsien_US
dc.subjectpenyalahgunaan wewenangen_US
dc.titlePenyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Authority Abuse in Corruption Criminal Offenseen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.kodeprodi0720101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record