dc.description.abstract | Terdapat dua pejabat yang dapat mengesahkan perjanjian perkawinan pasca adanya Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 yaitu pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Terdapat dualisme kewenangan dalam pengesahan perjanjian perkawinan. Frasa “disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris”, menimbulkan kekaburan norma dan ketidakpastian dalam masyarakat maupun dalam kalangan profesi notaris, apakah notaris berwenang untuk mengesahkan perjanjian kawin yang dibuat selama perkawinan berlangsung. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, tesis ini mengangkat rumusan masalah: (1). Apakah makna pengesahan perjanjian perkawinan oleh notaris dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015? (2). Apakah perjanjian perkawinan yang disahkan oleh notaris mempunyai kekuatan hukum mengikat? (3). Bagaimana pengaturan kedepan mengenai pengesahan perjanjian perkawinan di Indonesia?
Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui, memahami, dan memberi uraian tentang makna pengesahan perjanjian perkawinan dalam Putusan Mahkama Konstitusi. Mengetahui, memahami, dan menjelaskan mengenai kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang disahkan oleh notaris serta memahami, dan menemukan mengenai pengaturan kedepan pengesahan perjanjian perkawinan di Indonesia.
Dalam menjawab isu hukum dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Tesis ini menggunakan dua pendekatan yaitu, pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Jenis bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari jenis bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan hakim dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, seperti buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan. Metode analisa bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan metode deduktif
Dari hasil penelitian penulis dengan menggunakan metode diatas, penulis mendapatkan jawaban bahwa: Pertama, Makna pengesahan perjanjian perkawinan oleh notaris dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 adalah berbeda dengan makna pengesahan perjanjian perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengesahan perjanjian perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan tidak lebih dari pembukuan (overschrijving) perjanjian perkawinan didalam suatu register umum (openbaar register). Secara penafsiran a contrario dapat ditafsirkan bahwa pegawai pencatat perkawinan menjamin bahwa perjanjian perkawinan yang telah disahkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Kedua,Perjanjian perkawinan yang disahkan atau dibuat dihadapan notaris (dalam bentuk akta otentik) mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi kedua belah pihak sebagaimana berdasarkan asas pacta sun servanda sebagai asas fundamental dalam hukum perjanjian. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam pasal 1338 BW. Perjanjian perkawinan dapat mengikat pihak ketiga apabila disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagai bentuk pemenuhan syarat unsur publisitas perjanjian. Ketiga, Diperlukan pembentukan hukum baru dalam bentuk revisi dalam UUP maupun UUJN untuk kemudian ditindak lanjuti dalam bentuk Peraturan pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-undang agar mampu memberi landasan hukum baru yang kuat dan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan produk hukum yang memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis memberikan saran sebagai berikut: Pertama, Kepada Dewan Pewakilan Rakyat bersama Pemerintah harus segera menindak lanjuti Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian perkawinan dalam undang-undang Perkawinan dan UUJN, Kedua, Kepada pembentuk undang-undang juga seyogyanya menganalisa mengenai ketentuan dalam Putusan MK yang seolah-olah memberikan kewenangan Pengesahan Perjanjian perkawinan kepada Pegawai pencatat perkawinan atau notaris agar tercipta harmonisasi antar lembaga terkait dan tidak menimbulkan ambiguitas dikalangan masyarakat. Ketiga, Kepada pemerintah untuk dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai adanya perjanjian perkawinan agar perjanjian perkawinan lebih dikenal dan masyarakat Indonesia tidak menganggap tabuh mengenai perjanjian perkawinan seperti selama ini. Agar dikemudian hari tidak timbul permasalahan bahwa masyarakat yang telah melaksanakan perkawinan tidak mengerti dengan ketentuan mengenai perjanjian perkawinan. Alangkah lebih baik perjanjian perkawinan tetap dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan seperti dalam ketentuan Undang-undang Perkawinan sebelum adanya Putusan MK. | en_US |