ANALISIS YURIDIS PENANGKAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR
Abstract
Perkembangan terorisme saat ini telah membuat dunia menjadi tidak aman.
Kejahatan terorisme digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extra ordinary measures).
UU Tindak Pidana Terorisme sebagai legalitas pemberantasan kejahatan terorisme
tidak mengatur secara subtansi mengenai keberadaan dan kewenangan Densus 88
Anti Teror. Demikian pula hukum pidana formil (KUHAP) tidak mengatur
keberadaan dan kewenangan lembaga tersebut. Hal tersebut tidak saja
mempertanyakan mengenai legalitas keberadaan dan kewenangan Densus 88 Anti
Teror dalam menanggulangi kejahatan terorisme, tetapi juga menggugat
keprofesionalannya dalam melakukan penangkapan tersangka tindak pidana terorisme
dinilai arogan, berlebihan dan potensial melanggar hak asasi manusia (HAM).
Rumusan masalah dalam skripsi ini : pertama, Apakah Detasemen Khusus 88
Anti Teror memiliki kewenangan melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak
pidana terorisme, kedua, Apakah penangkapan tersangka tindak pidana terorisme oleh
Detasemen Khusus 88 Anti Teror melanggar Hak Asasi Manusia.
Metode penelitian yang digunakan Yuridis Normatif (Legal Research)
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan konseptual
(conceptual aproach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Metode analisa bahan hukum
yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deduksi.
Kesimpulan skripsi ini : pertama, Secara struktural Densus 88 Anti Teror
adalah bagian integral dari Kepolisian RI mempunyai fungsi dan tugas pokok di
bidang penanggulangan kejahatan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat
(1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010. Berdasarkan fungsi dan tugas
pokok tersebut maka Densus 88 Anti Teror memiliki kewenangan melakukan
penangkapan sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP. Hal tersebut
disebabkan dalam UU Tindak Pidana Terorisme tidak mengatur kewenangan
penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror sehingga landasan yuridis penangkapan
tersangka Tindak Pidana Terorisme didasarkan pada KUHAP sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Tindak Pidana Terorisme. Namun demikian,
khusus terkait batas waktu penangkapan menyimpangi ketentuan KUHAP yang
menetapkan 1 x 24 jam (Pasal 19 ayat (1)). Sementara itu, UU Tindak Pidana
Terorisme menetapkan batas waktu penangkapan 7 x 24 jam (Pasal 28). Kedua,
Penangkapan tersangka tindak pidana terorisme oleh Densus 88 Anti teror pada
prinsipnya telah memiliki landasan hukum (legalitas) selain itu juga mengedepankan
prinsip-prinsip legalitas, nesesitas, proporsional, kewajiban umum, preventif dan
masuk akal. Oleh karena itu, walaupun secara empiris (praktek) terdapat fakta berupa
meninggalnya ataupun menyebabkan luka-luka pada tersangka tindak pidana
terorisme merupakan konsekuensi dari proses penegakan hukum sehingga tidak
dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Saran dari skripsi ini : pertama, Penangkapan tersangka tindak pidana terorisme
merupakan bagian penegakan hukum dari UU Tindak Pidana terorisme maka
sebaiknya keberadaan dan kewenangan Densus 88 Anti Teror sebagai lembaga
berkompeten melakukan penangkapan tersangka tindak pidana terorisme dalam
rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme diatur secara integral
dalam UU tindak Pidana Terorisme. Kedua, Penangkapan oleh Densus 88 Anti teror
agar tidak menimbulkan kontroversi terkait pelanggaran HAM tersangka tindak
pidana terorisme maka sebaiknya dilakukan dengan lebih mengedepankan cara-cara
yang humanis (persuasif). Akan tetapi, jika cara persuasif tidak membuahkan hasil
maka penggunaan tindakan reperesif boleh dilakukan dengan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip penegakan hukum seperti asas legalitas, asas nesesitas, asas
proporsionalitas, kewajiban umum, preventif dan masuk akal (resonable).
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]