HINDUISASI MASYARAKAT DESAKALIGONDOKECAMATAN GENTENG KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 1965-1985
Abstract
Hindunisasi masyarakat Desa Kaligondo Kecamatan Genteng Kabupaten
Banyuwangi merupakan dampak dari situasi perpolitikan nasional pasca pecahnya
tragedi G30S 1965. Situasi perpolitikan di tingkat nasional semakin memanas, tidak
terkontrol dan stabilitas keamanan nasional semakin tidak terkendali. Hal ini
berdampak pada stabilitas di daerah-daerah, seperti di Kabupaten Banyuwangi.
Masyarakat umumnya masih bingung tentang keadaan sebenarnya mengenai Gerakan
30 September 1965 di Jakarta.
Rezim Orde baru menuduh PKI sebagai dalang gerakan 30 September 1965
yang kemudian mengakibatkan adanya peristiwa pembantaian massal terhadap
anggota PKI dan simpatisanya. Hal ini berdampak pada kehidupan masyarakat Desa
Kaligondo yang mayoritas adalah etnis Jawa. Masyarakat Desa Kaligondo yang
terbagai atas golongan Abangan yaitu orang-orang dari kalangan PNI, dan golongan
Santri yaitu dari orang-orang NU. Selain itu orang-orang PKI yang dianggap orang
ateis.
Gerakan pembersihan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap
PKI serta simpatisanya tersebut memberikan rasa trauma pada orang-orang PKI yang
masih tersisa. Hal tersebut berdampak pada kehidupan keagamaan masyarakat Desa
Kaligondo. Orang-orang abangan atau PNI juga tidak lepas dari kebencian orang orang NU. Mereka menganggap orang-orang PNI sama kafirnya dengan PKI. Bila
berjamaah bersama dengan orang NU, terjadi sikap sinis yang ditujukan kepada
orang-orang PNI.
Konflik antara orang-orang NU dan PNI di Desa Kaligondo mengakibatkan
rasa sakit hati orang PNI terhadap perlakuan yang diterima dari orang NU. Rasa sakit
hati tersebut membuat orang-orang PNI di Desa Kaligondo enggan untuk
melaksanakan sholat ke masjid, secara perlahan perasaan itu melunturkan identitas agama Islam pada diri mereka. Hal tersebut mendorong mereka untuk mencari
keadilan sebagai penambat sakit hati mereka.
Orang-orang PKI yang selamat dari pembantaian massal 1965 di Desa
Kaligondo juga merasa ingin melepaskan identitas komunis yang ada pada diri
mereka. Karena dengan identitas tersebut mereka tidak akan merasa aman. Orang PKI
dan PNI di Desa Kaligondo ini kemudian merasa senasib, mereka seperti saudara.
Hingga mereka sepakat bagaimana mereka bisa mendapatkan kedamaian hidup, yaitu
dengan memeluk agama baru yaitu Agama Hindu.
Pada tahun 1966 pemerintahan Orde Baru menghadirkan politik agama
dengan mengeluarkan Tap/MPRS/No.XXVII/1966, yang menyatakan bahwa setiap
warga negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama yang diakui
negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Adanya pembinaan mental
agama melalui Pusat Pembinaan Pendidikan Agama
Politik agama yang dkeluarkan pemerintahan Orde Baru tersebut menjadi
salah satu faktor pendukung orang-orang eks PKI dan PNI di Desa Kaligondo untuk
mendapatkan agama baru. Kemudian Sri Martono dan Niti nekat pergi menghadap
seorang misionaris Agama Hindu yaitu I Ketut Sidre yang bertempat di kampung bali
yang terletak di Banyuwangi Kota. Disana mereka belajar banyak mengenai Agama
Hindu hingga beberapa bulan mereka kembali pulang ke Desa Kaligondo. Setelah
pulang ke Desa Kaligondo, mereka kemudian mengajarkan Agama Hindu kepada
orang-orang eks PKI dan PNI yang menyambut baik Agama Hindu ini. Hingga akhir
tahun 1967 mereka mendapatkan ijin resmi dari pemerintah untuk memeluk Agama
Hindu yang sah secara hukum. Dampak dari Hindunisasi tersebut yaitu masyarakat
Desa Kaligondo Khususnya orang-orang eks PKI dan PNI mendapatkan apa yang
mereka cari yaitu kedamaian hidup dan penambat rasa sakit hati dengan identitas baru
yaitu Agama Hindu. Agama Hindu menjadi jawaban atas ketidak adilan yang dialami
oleh orang-orang eks PKI dan PNI.
Agama Hindu di Desa Kaligondo ini adalah Hindu Jawa yang dianggap sama
dengan tradisi kejawen dan tradisi leluhur, oleh karena itu orang-orang PNI bisa
menerima dengan mudah ajaran-ajaran Agama Hindu ini. Disamping itu orang-orang
eks PKI juga merasa bahwa Agama Hindu yang dipeluknya ini adalah agama
pembebasan dari tekanan-tekanan sosial di masyarakat sehingga mereka
mendapatkan kedamaian hidup. Selain itu, kesederhanaan adalah salah satu alasan
mengapa mereka memilih Agama Hindu, kesederhanaan dalam ibadah maupun ajaran
ajaran agamanya.