dc.description.abstract | Kajian mengenai penamaan tempat sangat menarik dan unik jika dilihat
dari sudut pandang latar belakang atau sejarah historisnya. Penamaan kecamatan
di Kabupaten Lamongan yang merupakan kajian antropolinguistik termasuk ke
dalam penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini, ditempuh tiga tahapan,
yaitu: 1) pengumpulan data, 2) analisis data, dan 3) penyajian hasil analisis data.
Pada tahap pengumpulan data peneliti menggunakan metode cakap semuka (CS)
dengan teknik pancing. Metode cakap sama dengan metode wawancara dalam
penelitian sosial. Selain menggunakan teknik wawancara peneliti juga
menggunakan teknik rekam dan catat. Hal tersebut untuk membantu peneliti
dalam mengingat informasi penting dan melakukan transkripsi data.
Tahap analisis data peneliti menggunakan dua metode. Pertama metode
padan referensial untuk menganalisis data kebahasaan, dengan teknik pilih unsur
penentu data dipilih dan dianalisis berdasarkan pengetahuan peneliti yang
mengacu pada makna leksikal (kamus). Kedua dalam menganalisis fenomena
budaya atau sejarah dari nama-nama kecamatan tersebut, peneliti menggunakan
metode padan ekstralingual, dengan teknik hubung banding yang bersifat
ekstralingual. Arah kajian dimulai dari analisis data-data kebahasaan dan
dikaitkan dengan analisis fenomena budaya yang melatarbelakanginya. Namanama
kecamatan diinventarisasi baik dari sumber lisan maupun tertulis, diseleksi,
direduksi, diklasifikasi, dianalisis segi kebahasaan (struktur bentuk/etimologi dan
maknanya) dan dianalisis fungsi dan tujuan penamaan dilihat dari aspek-aspek
sejarah, budaya dan kondisi politik/pemerintahan, bentuk benda dan lingkungan
fisiknya (Ononim) (Prihadi, 2015). Tahap ketiga penyajian data, analisis data
disajikan dalam bentuk laporan tertulis. Laporan penelitian disajikan dengan
menggunakan kata-kata atau tulisan berdasarkan hasil analisis pada tahap analisis
data.
Peneliti mengambil empat kecamatan sebagai lokasi penelitian, yaitu:
Kecamatan Sugio, Kecamatan Kembangbahu, Kecamatan Ngimbang, dan
Kecamatan Sukorame. Nama-nama kecamatan tersebut diambil dari nama desa
atau dusun tempat dimana kantor kecamatan berdiri atau dibangun. Proses
penamaan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis. Pertama Kecamatan Sugio,
masuk ke dalam penamaan berdasarkan keadaan dan harapan. Didirikan pada
tahun 1870 oleh tokoh masyarakat bernama Mbah Legio. Nama Sugio berasal dari
kata dasar sugih ‘kaya’ dan mendapat akhiran o [Ɔ] sehingga membentuk makna
baru, dari makna kaya menjadi makna mendoakan untuk kaya. Kedua Kecamatan
Kembangbahu, penamaan berdasarkan sejarah berdirinya. Didirikan kira-kira pada
tahun 1400 pasca terjadinya perang Paregrek atau perang saudara di Majapahit.
Kata Kembangbahu berasal dari dua kata kembang ‘bunga’ dan bahu ‘lengan’
makna Kembangbahu bukan bunga yang ada di lengan melainkan sebutan pangkat
atau jabatan orang zaman dahulu.
Ketiga Kecamatan Ngimbang, penamaan berdasarkan unsur alam. Kirakira
didirikan pada tahun 965 Saka atau 1042 Masehi (prasasti Titing) kira-kira
pada masa sebelum Raja Airlangga. Nama Ngimbang berasal dari kata himbang
‘lereng atau pinggir’ dalam sebuah prasarti di daerah Cane Kecamatan Sambeng
(sebelah timur Kecamatan Ngimbang). Dalam prasasti tersebut bertuliskan huruf
Jawa kuna masanggra ing himbangin ancala yang maknanya berada di bawah
lereng bukit. Keempat Kecamatan Sukorame, penamaan berdasarkan unsur alam.
Didirikan pada tahun 1992 berada di Desa Sukorame yang merupakan hasil
pemekaran dari Kecamatan Bluluk. Nama Sukorame sendiri dibuat oleh dua tokoh
masyarakat yang diresmikan pada tahun 1920, berasal dari kata suko ‘senang’ dan
rame ‘ramai’. Makna dari senang ramai bukan berarti suka dalam hal-yang
merugikan, melainkan dalam hal kebaikan.
Makna yang dimiliki nama-nama kecamatan tersebut tidak dibawa oleh
masyarakat ke masa depan, tetapi hanya berhenti pada generasi-generasi tertentu
yang menaruh perhatian lebih terhadap sejarah. Makna nama-nama kecamatan
x
tersebut mati di kalangan anak muda dan bergeser menjadi makna administratif.
Tuntutan hidup era sekarang semua lapisan masyarakat harus mengerti dan
memahami alamat tempat tinggal mereka, mau tidak mau masyarakat harus
menghafal demi terpenuhi kebutuhan identitas sebagai warga negara. Hal tersebut
yang membuat makna dari nama keempat kecamatan tersebut kehilangan
posisinya di masyarakat | en_US |